Mohon tunggu...
Andika Gunadarma
Andika Gunadarma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Motorcycle builder, Gamer & Graphic Designer | Work at hukumonline.com | lawyer - but not anymore | Lecturer | full-time husband

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berapa Sebenarnya Harga 1 Liter Bensin?

3 April 2012   14:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:05 5353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13334624581118869265

Agak susah untuk membandingkan harga minyak di satu Negara dengan Negara lain, karena kondisi tiap Negara berbeda-beda. Contoh paling gampang adalah Amerika. Pada akhir masa admisnistrasi presiden Bush, 1 galon bensin masih dalam kisaran $ 1,7/galon atau sekitar Rp. 4,200/liter. Namun pada masa presiden Obama, ia ketiban sial, harga bensin melonjak lebih dari 2x lipat karena terlalu banyak bahan bakar dan biaya yang digunakan untuk perang Iraq dan Afganistan yang kesemuanya “diwariskan” dari pemerintahan Bush. Begitu juga halnya di Negara-negara lain yang memiliki faktor penyebab yang berbeda.

Di Amerika bensin dijual dalam takaran “galon”, dimana 1 galon itu sama dengan 3,7 liter. Satu galon bensin dijual dengan harga $ 3,0 /galon dimana sebelumnya harga 1 galon tersebut adalah $ 1,7 /galon. Hari ini (3 april 2012) $ 1 = Rp. 9,300.

Maka harga bensin di Amerika untuk setiap liternya (dalam rupiah) adalah :

($ 3,0 x Rp. 9,300) / 3.7 = Rp. 7.500/liter

Sementara di Jepang sebagai negara yang murni mengimport minyak (karena tidak ada minyak di Jepang), harga bensin per-liternya adalah Rp.17.600/liter.

Sebagai catatan, ini adalah bensin dengan kualitas Pertamax, Shell dan sejenisnya. Bukan bensin bersubsidi (premium).

Hari ini bensin Pertamax dijual dengan harga Rp. 10.500/liter. Berarti sudah tidak bisa dipungkiri lagi kalau sekarang harga bensin di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan di Amerika. Padahal taraf hidup masyarakat Indonesia jauh dibawah Amerika.

Pertanyaannya, “kenapa bisa begini? Bukankah kita (dulu) adalah negara pengekspor minyak?”

Jawabannya adalah “cost recovery” dan “production-sharing” antara Pertamina (Negara) dengan perusahaan-perusahaan minyak Asing.

“Cost recovery” adalah penggantian biaya produksi oleh Negara terhadap perusahaan minyak swasta (Asing) untuk biaya, eksplorasi, produksi bahkan transportasi tergantung perjanjian kedua belah pihak. Contoh perusahaan asing yg beroperasi di Indonesia ini antara Caltex, Chevron, Total, Petro China, Schlumberger, Mobil Oil, Exxon, dst.

Kontrak ini terjadi sejak awal berdirinya Pertamina. Waktu itu (dulu) Indonesia memiliki cadangan minyak mentah yang luar biasa banyak sampai dengan puluhan juta barrel per-hari. TAPI Indonesia tidak memiliki kemampuan (baik SDM dan finansial) serta tidak juga memiliki teknologi untuk mengambilnya.

Ini sangat-sangat menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan asing yang memang sudah jauh lebih berpengalaman.

Melalui G2G, Pemerintah kita menerima kerjasama pihak asing ini dengan cara bagi hasil, melalui beberapa mekanisme kontrak, izin, dll. (saya tidak bahas disini soalnya…males). Umumnya bagi hasil ini adalah sebesar 80 : 20, 80% untuk Indonesia dan 20% untuk perusahaan asing tersebut.

Atas deal ini kemudian Negara juga harus menanggung ongkos produksi/operasional perusahaan (kontraktor) asing tersebut diuar jumlah minyak yang disepakati diatas. Artinya, ada kemungkinan besar bahwa Negara harus membayar dengan minyak lebih dari 20%. Ini juga termasuk dalam cost-recovery.

Misalnya begini:

Biaya operasional satu buah “rig” (menara pengeboran minyak) ukuran kecil, dilengkapi dengan seluruh mesin, alat komunikasi, computer dan staf asing yang mengoperasikan mesin bor minyak, di tahun 1997 adalah sebesar $ 150,000 per-HARI. Kalau dihitung dengan kurs sekarang, berarti sekitar Rp. 1,3 Milyar/hari.

Rp. 1,3 Milyar x 220 hari = Rp. 286 Milyar/tahun

Masa kontrak ini bisa sampai 10 tahun bahkan 30 tahun.

Rp. 286 Milyar x 10 tahun = Rp. 2,8 Triliun/kontrak

Dan ini hanya untuk SATU buah rig saja! Ada ratusan rig serupa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, belum lagi rig lepas pantai (offshores) yang biayanya bisa dua kali lipat dibandingkan dengan ground-rig (daratan).

Jadi pemerintah selama bertahun-tahun mengeluarkan biaya yang apabila tidak ada satu rupiah pun yang keluar atau dikorupsi, bukan tidak mungkin kalau Negara kita bisa jadi salah satu Negara terkaya didunia.

Lantas kenapa kita masih mengandalkan kerjasama seperti ini sampai sekarang?

Jawabannya adalah KORUPSI dan kickback.

Nilai satu kontrak dengan satu vendor asing yang bisa mencapai nilai triliunan ini sangat “menggiurkan” bagi para koruptor di Pertamina. Praktek yang dilakukan cukup sederhana, biasanya oknum-oknum ini meminta jatah sekitar 1% - 2% per-kontrak, dan ini baru dari satu jenis kontrak, ada ribuan kontrak dalam satu tahun, mulai dari yang nilainya ratusan juta, sampai triliuan.

Sudah rahasia umum kalau anak-anak dari oknum (bos) di Pertamina hampir sebagian besar hidup dengan sangat mewah

Belum lagi di unit pemasaran di Pertamina (biasa dikenal dengan UPDN dan UPLN). Di unit ini banyak sekali oknum yang bermain dengan jumlah penjualan minyak baik dari segi volume maupun dari segi nilai. Sampai-sampai Pertamnina sendiri sampai saat ini tidak punya data yang jelas, misalnya:

  • Berapa jumlah minyak mentah yang dikirim dari sumur ke kilang produksi;
  • Berapa jumlah minyak mentah yang diproduksi oleh kilang;
  • Berapa yang dikirim dari kilang ke depot pemasaran;
  • Dan berapa minyak yang terjual.

Dari masing-masing proses selalu terjadi “pengurangan” dan jumlahnya bisa mencapai jutaan liter setiap bulannya, dan ini terjadi diseluruh kantor, pabrik, kilang, depot Pertamina diseluruh wilayah Indonesia.

Sungguh tidak bisa dibayangkan berapa triliun Negara ini merugi selama bertahun-tahun akibat ulah korupsi ini.

Kita negara pengekspor minyak atau negara pengimpor?

Banyak yang mengira bahwa Indonesia adalah Negara pengekspor minyak sampai sekarang. Memang, sampai saat ini kita masih mengekspor minyak keluar negeri, seperti ke Jepang misalnya. Tapi minyak yang kita ekspor adalah MINYAK MENTAH, yang kemudian kita impor (beli) kembali setelah menjadi bensin atau BBM lain. Hal ini dilakukan karena beberapa factor (termasuk faktor korupsi diatas), namun yang paling jelas adalah:

Kapasitas serta teknologi kilang minyak dalam negeri kita tidak cukup untuk mengolah minyak mentah menjadi bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri

Coba saja lihat dari seluruh kantor cabang Pertamina, sumur minyak serta negara yang begitu luas hanya ada 7 kilang minyak dan hanya 6 yang masih beroperasi, yaitu:

  1. Unit Pengolahan I di Pangkalan Brandan - Sumatera Utara (ditutup pada Januari 2007)
  2. Unit Pengolahan II di Dumai - Riau
  3. Unit Pengolahan III di Plaju-Sei Gerong Palembang - Sumatera Selatan
  4. Unit Pengolahan IV di Cilacap - Jawa Tengah
  5. Unit Pengolahan V di Balikpapan - Kalimantan Timur
  6. Unit Pengolahan VI di Balongan Indramayu - Jawa Barat
  7. Unit Pengolahan VII di Sorong - Papua

Seluruh kilang ini sudah sangat tua, tidak terawat dan ketinggalan jaman. Andai saja salah satu dari kilang ini kena bencana, maka Indonesia akan kena krisis yang serius. Kilang-kilang ini masih sering saling menutupi kekurangan jumlah suppy BBM, jadi jangan heran kalau ada wilayah-wilayah di pelosok yang harga BBM nya bisa jauh lebih mahal atau kesulitan memperoleh BBM, padahal di wilayah tersebut ada kilang minyak.

Pemerintah (baca: Pertamina) kelihatan sengaja “memanjakan” diri untuk tidak memilih berinvestasi dalam mengembangkan teknologi eksplorasi, penambangan dan pengolahan minyak di dalam negeri tapi justru tetap mengandalkan ketergantungannya pada kontraktor-kontraktor asing ini.

Tahun ini saja ESDM menyebutkan bahwa biaya cost-recovery mencapat $ 15,13 Milyar (lebih dari Rp. 140 Triliun). Biaya ini naik dari tahun sebelumnya yaitu sebesar $ 13,7 Milyar.Sampai saat ini saya masih kurang mengerti mengapa biaya tersebut bisa naik, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung menguat.

Bayangkan apabila setidaknya kita memiliki kemampuan mencari dan mengolah minyak yang sama dengan kontraktor-kontraktor asing ini, maka Indonesia bisa dengan mudah memproduksi minyak sendiri, bahkan mungkin bisa jadi salah satu negara pengekspor minyak terbesar di dunia.

Lantas apa solusinya?

Ada beberapa cara yang bisa saya bayangkan, antara lain:

1.Negara bisa memutuskan untuk menghentikan, bernegosisi ulang atau mengurangi semua bentuk kontrak dan “bagi hasil” dengan pihak-pihak asing ini;

2.Negara juga bisa menaikan pajak bagi seluruh perusahaan MIGAS asing yang beroperasi di Indonesia;

3.Menggunakan sebagian dari biaya cost-recovery yang tidak terpakai untuk membangun kilang MIGAS, pipa penyalur MIGAS, serta memperbarui semua teknologi penambangan dan produksi minyak di dalam negeri, terutama untuk teknologi lepas pantai (offshores);

4.Memanfaatkan lebih banyak tenaga lokal dibanding asing dengan transfer of knowledge untuk pekerjaan yang memiliki kebutuhan pengetahuan teknologi perminyakan yang terkini;

5.Mengetatkan pengawasan penambangan, produksi dan distribusi MIGAS;

6.Membantai semua korupsi di Pertamina dan instansi yang terkait dengan MIGAS, termasuk pajak, bea cukai, BP MIGAS, BPH MIGAS dan departemen perdagangan;

Semoga belum terlambat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun