Liburan sekolah telah tiba. Beberapa hari lalu ketika saya mengunjungi seorang teman dia begitu antusias menyambut liburan sekolah ini dengan melakukan perjalanan wisata ke luar negeri. Tujuannya kali ini adalah Hongkong dan Macau. Ini bukan kali pertama dia dan keluarganya berlibur ke luar negeri. Setiap liburan sekolah tiba keluarga ini selalu menyambutnya dengan berlibur ke luar negeri. Ya, teman saya memang seorang yang “hebat”. Dia biasa menghabiskan ribuan dollar dalam satu kali perjalanan wisatanya. Seringkali saya tertawa geli saat dia mengatakan “sedang menunggu kiriman teh dari Kuala Lumpur atau cincau dari negeri Jiran tersebut” karena menurutnya teh produk dalam negeri sering membuatnya batuk. Saya bertahun-tahun minum teh produk lokal tidak pernah batuk, mungkin kalau tehnya dicampur dengan gula biang memang bisa bikin batuk, pikir saya. Dan cincau, hmmm…..bukankah banyak orang yang menjual cincau di dalam negeri, apalagi sebentar lagi menjelang bulan Ramadhan, penjual cincau bertebaran dimana-mana.
Tak berhenti disitu, ternyata ungkapan “like mother like daughter” berlaku pula di sini. Jika sang ibu begitu bangganya dengan produk-produk makanan luar negeri, maka sang anak begitu bangganya dengan segala pengalaman wisatanya di luar negeri. Segala tempat sejarah di beberapa Negara ASEAN bisa dia ceritakan dengan hafal di luar kepala dan dengan rasa antusias yang besar, padahal usianya baru menginjak sembilan tahun saat ini.
Saya yang orang kampung dan “ndeso” sedikit jealous dengan hal-hal seperti ini, meskipun fenomena seperti ini bukanlah hal yang baru dan sudah menjadi hal yang biasa untuk sebagian besar kalangan berduit di negeri ini.
Terdorong oleh rasa jealous itu usil saya bertanya pada si anak apakah dia juga tahu tentang Candi Prambanan atau Candi Borobudur, kalau dia tahu tentang Wat Arun, Sungai Chao Phraya, Sentosa Island, Orchard Road, pastilah dia juga tahu tentang Candi Prambanan, Candi Borobudur atau Malioboro, walaupun tidak tahu banyak tentang sejarahnya dan sebagainya tapi paling tidak pastilah dia tahu tempat itu ada dimana, pikir saya.
Harapan saya masih besar ketika menanti jawaban dari si anak tersebut, namun harapan itu segera pupus ketika si anak balik bertanya kepada saya, “Candi Prambanan itu apa, Candi Borobudur itu apa?”. Sudah begini parahkah anak-anak negeri ini dalam mengenal negerinya?.
Dari kisah saya di atas, anak tersebut tidak bisa disalahkan sama sekali karena keluarga dan lingkunganlah yang membentuknya menjadi “foreign minded”. Hal ini membuat saya bertanya-tanya masih adakah pendidikan sejarah di sekolah, atau apakah yang diajarkan dalam pelajaran sejarah di sekolah atau apakah pengajar sejarah di sekolah tidak bisa membuat para siswanya untuk tertarik mempelajari sejarah dalam negerinya, dan atau-atau yang lain masih berkecamuk dalam pikiran saya.
Saya orang yang biasa alias bukan dari kalangan berduit merasa sayang dengan terbuangnya uang ribuan dollar ke negara orang demi menjaga sebuah gengsi dan kebanggaan akan belanja di luar negeri dan menggunakan produk-produk luar negeri. Mungkin orang tersebut merasa hebat dengan menghabiskan uangnya di luar negeri. Saya jadi berandai-andai, misalnya uang tersebut digunakan untuk belanja dan berwisata di dalam negeri, sudah berapa orang-orang di sekitar kita yang bisa memetik keuntungan, mulai dari supir (jasa transportasi), orang-orang yang bergerak di bidang jasa penginapan, pedagang makanan, pedagang oleh-oleh dan souvenir dan mungkin masih banyak yang lainnya. Kalau satu keluarga saja bisa menghabiskan ribuan dollar di luar negeri, jika dalam sekali musim liburan ratusan keluarga Indonesia menghabiskan waktunya untuk berlibur di negara orang, sudah berapa juta dollar uang yang keluar dari kantong orang-orang Indonesia untuk “dibuang” di negara orang.
Seringkali saya bercanda dengan beberapa teman, mereka bangga bisa melihat Chao Phraya, kita juga punya Sungai Barito di Kalimantan, mereka bangga bisa melihat Wat Arun, Ankor Wat (di Kamboja), kita punya Candi Borobudur yang tak kalah megahnya. Mereka bangga bisa menyaksikan Festival Sonkran, kita juga punya acara Sekaten, Ngaben, Festival Ogoh-ogoh dan lainnya. Mereka punya prestige bisa belanja di Orchard Road, kita juga punya Malioboro dan Cihampelas. Thailand punya Mahboonkrong dan Chatuchak, pasar-pasar dan mall-mall di Indonesia juga tidak kalah. Jadi apa sebenarnya yang kurang dari Indonesia?.
Saya teringat akan ucapan seorang Sacha Stevenson beberapa hari lalu, seorang Canada yang telah lama tinggal di Indonesia, yang begitu mencintai budaya dan keindahan alam Indonesia. Ketika ditanya oleh seseorang alasan kecintaannya akan Indonesia, dia menjawab bahwa orang Indonesia baik, alamnya indah dan membuatnya kagum. Mungkin jawaban tersebut terdengar klise. Si penanya mengejar lagi dengan pertanyaan dengan nada bercanda, “dari sisi mana orang Indonesia baik, saya jarang menemukannya”. Sacha pun menjawab, “mungkin karena kamu salah bertemu orang, jadi kamu hanya melihatnya dari sisi yang buruk”. Bisa jadi itu benar, kita hanya melihat semua dari sisi yang buruk.
Saya teringat lagi akan perkembangan Negara Jepang dan Korea Selatan hingga menjadi Negara maju di bidang teknologi seperti saat ini. Dulu disaat negara tersebut belum menjadi maju seperti sekarang, pasar mereka banyak dibanjiri oleh produk-produk teknologi dari Amerika dan negara-negara barat kala itu. Perekonomian kedua negara tersebut sempat mengalami keterpurukan dan berada dalam titik terendah, namun karena nasionalisme dari warga negaranya yang tinggi, mereka tetap membeli produk-produk dalam negeri mereka meski dengan kwalitas yang lebih rendah dan harga yang lebih tinggi. Selama beberapa tahun dalam masa itu, penduduknya jarang bepergian ke luar negeri, sehingga pereputaran uang dilakukan didalam negeri. Tidak banyak bicara, tidak banyak mencaci, tidak banyak mengkritik tapi mereka melakukannya dalam tindakan nyata, menjadi warga negara yang dewasa yang tahu akan tanggungjawabnya sebagai warga negara, sebagai rakyat, sebagai bagian dari masyarakat dan tanggungjawab sebagai manusia. Bisakah kita menjadi seperti mereka?.
Mungkin masih terasa sulit bagi kita, karena saya pribadi pun harus melalui proses belajar untuk menjadi seperti mereka. Belajar untuk mengerem mulut saya yang suka mencaci pemerintah, atasan dan sesama, belajar untuk mengerem tangan saya yang masih suka membuat tulisan berisi kritikan sana sini, dan belajar mengerem otak saya yang masih suka tergiur untuk belanja di luar negeri meskipun kadang itu masih berupa angan-angan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H