Dari situ aku terbangun, merasakan perlu untukku bercerita pada semua generasi, tentangku dan Eni. Soal bagaimana kami duduk bersebelahan di rerumputan sekolah kami, memandangi dedaunan jatuh di lapangan basket, sambil bicara soal perbedaan.
Tidak ada nada tinggi, tidak ada media sosial, yang ada hanya ponsel yang deringnya selalu pasif.
Kami tetap berteman dengan baik sampai di hari kelulusan SMA. Tidak berpelukan, tapi saling tepuk lengan seorang teman yang berdiri di hadapan kami. Mengucapkan selamat, sambil berjanji akan main basket lagi setiap liburan kuliah.
"Time out! Yang Islam biar sholat dulu," teriak Eni saat azan berkumandang disaat kami bertanding basket.
Kami yang muslim lalu pergi ke musholla, sedang pemain basket lain beristirahat di lapangan dan di kantin. Pertandingan berlanjut saat ibadah sholat Ashar usai kami laksanakan.
Eni, negeri ini sepertinya belum tahu. Bahwa tidak perlu menyewa ahli strategi maupun militer, merumuskan undang-undang, maupun menebar ancaman agar orang-orangnya damai.
Mungkin mereka harus memakai kacamata sudut pandang anak-anak Indonesia, yang suka duduk bersebelahan -- bicara soal perbedaan, lalu tetap berteman. Harapanku belum mati soal itu, sama halnya seperti harapan untuk bisa bermain basket sekali lagi dengan Eni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H