Mohon tunggu...
K. Fatmawati
K. Fatmawati Mohon Tunggu... Desainer - Penjelajah

Desainer grafis yang berfokus pada keseimbangan lingkungan, pendidikan, tatanan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan percepatan digital.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Toleransi Menengah Atas

24 November 2019   18:11 Diperbarui: 24 November 2019   18:15 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak pertanyaan yang aku sendiri waktu itu belum tahu jawabannya, ditanyakan Eni padaku. Pertanyaan soal kenapa umat Islam harus sholat 5 waktu (tidak dirapel jadi satu waktu saja), soal poligami, soal apakah muslim bisa masuk neraka jika lupa doa masuk kamar mandi, soal pemborosan air untuk wudhu (hehe), hingga soal kafir.

Yang terakhir, bahkan selalu jadi persoalan masyarakat hingga saat ini.

"Tidak, jika mereka tidak mengancam keselamatan umat Islam," jawabku saat ia menanyakan boleh tidaknya muslim membunuh umat agama lain.

"Tidak, malah lebih banyak soal dasar-dasar agama Islam seperti tata cara beribadah, doa, tajwid, dan sejarah," saat ia bertanya soal pernah tidaknya guru agama Islam mengajarkanku membenci penganut agama lain.


Setelah aku tanya, ternyata ia mendengar semua itu dari orang disekitarnya, dan juga perlakuan beberapa orang kepada ia dan teman-temannya.


"Dasar Cina Kafir!," adalah hinaan yang sering ia terima dari beberapa orang yang ia temui.


"Yang aku tau, kafir adalah kata yang dipakai agamaku, untuk menyebut mereka yang tidak percaya pada Allah -- Tuhanku. Fakir juga adalah kata yg dipakai agamaku, untuk menyebut mereka yang tidak punya harta dan penghasilan, lebih dari miskin."

"Sayangnya,"lanjutku

 "Dua kata itu jadi buram maknanya karena sering dipakai bahan bercanda dan olok-olok. Aku jengkel sih kalau ada yang pakai dua kata itu diluar konteks," jelasku pada Eni.


Kami lalu duduk terdiam agak lama. Memandang dedaunan kering yang jatuh di atas lapangan basket sekolah. Sekolah sudah usai sejak 2 jam yang lalu, tapi memutuskan tinggal agak lama untuk bermain basket bersama.

Eduard Delputte/Unsplash 
Eduard Delputte/Unsplash 

"Tapi kita masih bisa main bareng, kan?," tanyanya.

"Hahaha iya dong, sampai tua pun juga kita masih bisa main bareng."

"Kalau ada yang bilang seperti itu lagi, cuekin aja, En. Mereka bukan orang baik," tambahku, sambil berjalan disamping Eni.


BANGUN

Aku setengah tidak percaya saat menyadari, bahwa obrolanku dengan Eni terjadi lebih dari 13 tahun yang lalu. Baru berapa kali aku berkedip, waktu yang terlewat sudah jadi uap-uap kenangan.

Banyak teman yang duduk di bangku sekolahku, sudah pandai beropini - dan banyak juga yang hilang jejaknya. Tidak lagi terekam di dunia maya, hanya bisa ditemukan dalam sepintas ingatan percakapan di masa lalu.

Jalanan semakin padat, transportasi juga mengalami disrupsi. Tidak perlu lagi baca koran esok hari untuk mendapat detail berita yang terjadi di TV hari ini. Tinggal buka google dan media sosial, maka semua langsung tersaji. Tingkat kebenarannya juga beragam, mulai dari yang paling benar, tidak benar-benar amat, hingga tidak benar sama sekali.

Banyak yang berubah, tapi satu yang tidak hilang-hilang, malah semakin mewabah. Kafir.

Mereka yang mengatasnamakan mayoritas membentur mereka yang mengaku minoritas. Semua lantang, saling tunjuk, saling sindir, dan saling hina. Saling membahas pihak mana yang paling layak untuk dihormati, dikasihani, diperhatikan di negeri ini. Aku tidak tahu, kalau wajah dunia di masa dewasaku bisa jadi semuram ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun