MINDSET DAN REGENERASI
Berkaitan dengan beberapa paragraf terakhir di bagian sebelumnya, regenerasi adalah masalah yang cukup krusial di dunia atlit Indonesia. Sebenarnya turunnya atlit yang itu-itu saja di setiap kompetisi, bukan berarti Indonesia sudah kehabisan “stok” atlit. Banyak sekali mungkin puluhan hingga ratusan atlit yang ada di Pelatnas. Atlit-atlit muda, yang karena demi target emas/nama baik bangsa, mereka belum dipercaya untuk bertanding di kejuaraan Internasional.
Padahal menurut Intan, kalau atlit-atlit ini tidak pernah dipercaya, mereka tidak akan pernah tahu dan ya tidak akan belajar.
Ini berkaitan erat dengan mindset pemerintah, pelatih, dan masyarakat. Kami sama-sama mengerti, kalau Indonesia ini ingin jadi juara. Maksudnya, ya ditiap kejuaraan kita harus bisa jadi kolektor medali emas. Lebih keren lagi kalau bisa menjadi juara umum. Jadi pemegang trofi Piala Dunia, Piala Thomas&Uber, Piala Sudirman Cup, dan piala-piala lainnya.
Tapi seharusnya sih kita jangan lupa. Yang sedang bertanding di sana itu manusia, bukan android.
Mereka ditarget untuk jadi juara, oleh pelatih. Diharapkan untuk bisa membawa kebanggaan negeri, oleh pemerintah. Diwajibkan untuk bisa selalu menang, oleh kita (iya, kita). Dirindukan untuk segera pulang ke rumah (saking seringnya mereka menghabiskan waktu di tempat latihan), oleh keluarga.
Sudah bisa membayangkan berapa ton beban yang mereka seret saat masuk ke arena kompetisi?
Belum lagi masa sebelum, saat, hingga usai pertandingan. Atlit bisa mendapatkan pujian setinggi langit yang bisa kapanpun berubah menjadi caci-makian. Mereka bisa disebut : juara sejati, pengharum nama bangsa, suamiable-istriable-mantuable (bagi yang jomblo), atau bahkan ada pasangan suami istri yang menamai anak mereka dengan nama si atlit ini.
Di sisi lain, para atlit ini juga bisa disebut : pengkhianat, membawa aib, memalukan, pemain curang, tidak professional, dst. Tidak jarang, keluarga besar, tempat berlatih, dan anak-anak mereka juga turut mendapat sebutan tidak mengenakkan. Masa depan mereka bisa saja berakhir dengan dilepas dari deretan tim nasional, di skors, stress bahkan ada juga yang berhenti/diberhentikan.
Atlit-atlit Indonesia sebetulnya punya kekuatan fisik dan psikis yang luar biasa kuat dibandingkan kita. Mereka tidak hanya harus berlatih ratusan atau jutaan kali, tapi juga harus siap mendapat komentar pedas. Sudah sedih karena menghabiskan sedikit waktu dengan keluarga gara-gara berlatih, eh setelah kalah, juga ditambah makian.
Kalau harus menunggu orang lain sih, lama hasilnya. Tapi kalau kita bisa mengubah pola berpikir dari “harus juara” menjadi “harus sehat, sportif, dan bersahabat”, kami yakin olahraga bisa kembali ke tujuan awalnya, yakni untuk kesehatan, kesenangan, dan kontrol diri.