Mohon tunggu...
K. Fatmawati
K. Fatmawati Mohon Tunggu... Desainer - Penjelajah

Desainer grafis yang berfokus pada keseimbangan lingkungan, pendidikan, tatanan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan percepatan digital.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Akhiri Kekerasan terhadap Wartawan dan Subyek Berita

2 November 2015   08:51 Diperbarui: 2 November 2015   19:20 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat melihat keterangan hari peringatan internasional yang jatuh pada hari ini, entah kenapa saya kurang sepakat. Tertulis International Days to End Impunity for Crimes againsts Journalist atau dalam bahasa Indonesia, artinya adalah Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas untuk Kejahatan terhadap Jurnalis. [caption caption="Ilustrasi Koran Berdarah (sumber: merdeka.com"][/caption]

Belajar tentang jurnalisme selama empat tahun pendidikan, membuat saya lebih bisa berpikir agak rasional. Penambahan unsur Wow dalam 5W+1H juga tidak bisa dibenarkan begitu saja. Sayangnya, perluasan "prinsip" ini sepertinya di-iya-kan oleh banyak media. Kalau unsur Wow ditambahkan, maka jurnalis tidak bisa dianggap sebagai pencari dan penyampai berita, melainkan pemanas berita atau pedagang berita. Tapi memang lanskap pasar masa kini, membuat berita menjadi sebuah komoditas perdagangan.

Kekerasan terhadap pencari berita/wartawan, memang masih belum menunjukkan penurunan intensitas. Banyak wartawan yang mengalami teror, sedang di waktu bersamaan ada wartawan yang mendapat apresiasi. Banyak wartawan yang dibunuh atau dianiaya, sedang di waktu bersamaan ada subyek pemberitaan yang terkucilkan dan mendapat sentimen tinggi.

Mungkin sudah tidak terhitung jumlahnya, wartawan yang meregang nyawa saat meliput berita atau dalam proses investigasi pemberitaan, tapi melalui tulisan ini, saya coba memakai sudut pandang lain.

SUBJEK PEMBERITAAN
Banyak yang menanggap, apa yang ditulis/ditayangkan di media massa, sepenuhnya benar. Banyak juga yang menganggap apa yang ada di media massa itu tidak lebih dari sekedar pencitraan. Namun jarang sekali yang mau sedikit berusaha memikirkan lebih lanjut tentang konten pemberitaan.

Pernah melihat berita tentang korupsi, terorisme, atau pembunuhan? Saya sering bingung, kenapa yang dijadikan sasaran pemberitaan adalah beberapa orang yang tidak tahu menahu dengan kasus. Seperti misalnya anak-anak, yang sering sekali menjadi korban. Media seringkali berusaha untuk mengorek kehidupan pribadi seseorang. Misalnya tersangka ini memiliki 4 orang anak, yang 2 diantaranya duduk di bangku sekolah dasar. Nah lalu ditunjukkanlah wajahnya, rumah tersangkanya, dan nama lengkap beserta tempat sekolahnya.

Dampak yang saya yakin menghampiri si anak-anak itu adalah dia dikucilkan, diolok-olok dengan sebutan "anak pembunuh", "anak koruptor", "anak haram", dan hujatan lain yang tidak manusiawi. Padahal mereka tidak tahu apa-apa, tidak mengerti, tidak terlibat, dan yang mereka tahu, orang tuanya itu hebat.

KOREKSI REDAKSI
Pernah tahu tentang bullying? Itu yang dialami oleh si anak-anak. Kejam dan bisa berdampak pada kematian. Belum lagi jika ada berita desas-desus. Artinya, berita yang hanya berdasarkan "info dari narasumber", "kelihatannya", "tampaknya", dan "bisa dibilang". Jika berita itu ternyata salah, pernah-kah kita lihat ada permintaan maaf dari redaksi akan kesalahan tersebut dan mengoreksi kebenarannya? Jarang sekali.

Belum lagi media online yang semuanya serba cepat. Siapa yang paling cepat dan wow, maka dia yang mendapat pasar. Malah mungkin jarang terlintas dalam pikiran redaksi untuk meminta maaf akan kesalahan penulisan, dll. Terakhir kali saya lihat, Kapanlagi.com berani menempatkan permintaan maaf akan kesalahan pemberitaan mengenai Fatin sebagai headline. Efeknya memang mungkin ada beberapa pembaca yang berikir "wah berarti berita dari situs ini belum tentu valid, dong". Tapi penggila berita seperti saya, ini sangat menyejukkan. Ternyata masih ada, media yang cukup berani meletakkan permintaan maaf sebagai headline, dengan berbagai konsekuensi yang bisa mengikutinya.

Berita Permohonan Maaf Kapanlagi.com atas Pemberitaan Fatin.

DUA BELAH PIHAK
Saya sadar betul dengan risiko dibalik setiap berita. Wartawan memang perlu mendapat perlindungan, tapi wartawan juga harus diberikan aturan ketat untuk itu. Tidak boleh ada ceritanya kebebasan berekspresi dalam pemberitaan, karena sekali berita itu terbit, maka semua orang bisa membacanya berulang-ulang. Mulai dari berita sejak tahun 1945, hingga tahun 20xx pun bisa dicari lewat internet. Artinya, kini orang bisa dengan mudah menelusuri identitas seseorang dari internet.

Apa jadinya jika ada cucu ex -narapidana mendapati namanya tertulis di media online sebagai "...pembunuh sadis itu memliki 1 orang cucu bernama Mawar Melati Semuanya Indah". Title yang dia miliki adalah cucu pembunuh sadis. Teman-temannya pun juga bisa mencari tahu tentang si Mawar itu lewat internet. Lalu ia akan dikucilkan dari pergaulan, dan dihujat oleh tetangganya. Hal terbaik adalah jika Mawar bisa cuek, terus berkreasi, atau membuat identitas baru. Sedang hal terburuk jika si Mawar tidak cukup kuat melawan kondisi bullying tersebut, ia akhirnya bunuh diri. Padahal ada berita yang kecil sekali gaungnya, ternyata si kakek Mawar itu tidak terlibat dalam pembunuhan, alias dijebak.

Adakah kompasianer yang berpikir sampai sejauh ini? Perlindungan terhadap kekerasan, tidak hanya dibutuhkan oleh wartawan, melainkan subyek pemberitaan. Verifikasi dua langkah adalah solusi terbaik untuk mendapat berita yang baik, informatif, dan akurat, namun tidak merugikan pihak manapun.

CITIZEN JOURNALISM
Perkembangan era citizen journalism, seperti kompasiana dan situs blogging, sebetulnya membawa angin segar bagi para pencari kebenaran. Hanya saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar bagi pembaca berita, untuk melakukan kroscek melalui berbagai sumber. Kecuali bagi mereka yang gemar menggali berita dari berbagai sumber dan sudut pandang, serta mereka yang sedang riset media.

Keberadaan para citizen journalists ini juga bisa menjadi dua mata pisau. Ada yang ingin menyebarkan isu buruk, namun ada juga yang menyebarkan berita melalui riset kecil-kecilan, atau menulis berita dari berbagai sumber untuk memperkuat validitas pemberitaan. Seperti kompasiana yang melakukan metode verifikasi penulis, headline, highlight dan moderasi, misalnya. Bisa jadi untuk menghindari tulisan-tulisan yang menyakiti SARA, dan untuk menjaga agar para citizen ini tidak saling menyakiti (lewat komen, atau gambar yang menyerang). Dengan begitu, tulisan citizen bisa terjaga, terarah, informatif. Dan bagi kompasiana yang paling informatif, dan baik dalam sudut pandang jurnalisme, bisa ditempatkan admin sebagai headline, maupun highlight.

Berita yang baik menurut saya adalah berita akurat yang memiliki tingkat informasi, manfaat, dan kualitas yang tinggi. Berita itu harus benar dengan tidak hanya berdasar pada posting twitter, namun sudah terverifikasi. Lalu informasi yang disampaikan harus memiliki manfaat yang besar bagi pembaca. Berita semacam ini, tidak akan menyakitkan walau baru dibaca 50 tahun mendatang.

Melalui tulisan ini saya berharap agar International Days to End Impunity for Crimes Againsts Journalist yang jatuh pada hari ini (2 November 2015), turut bisa saya dan para kompasianer peringati dengan bijaksana. Selamat menulis dan membaca!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun