Beberapa waktu lalu, ramai terlihat di jaringan media tentang film yang sampai membuat hubungan AS dan Korea Utara memanas. The-Interview. Film ber-plot komedi tentang usaha dua orang agen Amerika Serikat yang pergi ke Korea Utara untuk membunuh Presiden Kim Jong-un. Film yang diproduksi oleh SONY Pictures ini mendapatkan apresiasi kurang positif dari Pemerintah Korea Utara. Mereka menyebut film ini sebagai aksi terorisme.
[caption id="attachment_386772" align="aligncenter" width="448" caption="Poster Film The Interview yang diproduksi oleh SONY Pictures (sumber : www.kabarbisnis24.com)"][/caption]
Ternyata selanjutnya saya baca ada aksi hacking dilakukan oleh pihak yang menamakan dirinya Guardian of Peace (GoP). GoP meretas situs SONY, membocorkan film-film yang akan di rilis oleh sang produsen, serta menyebarkan identitas para karyawan SONY di dunia maya. GoP menuntut agar tidak ada lagi bioskop atau pihak yang menayangkan The-Interview. Bila tidak diikuti, maka GoP akan terus meretas situs SONY Pictures dan yang terkait.
Terjadi saling lempar tanggung jawab mengenai siapa yang meretas situs SONY Pictures. Banyak pihak menuduh Pemerintah Korea Utara sebagai pelakunya, namun Pemerintah memberikan klarifikasi bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan aksi tersebut. Cerita panjang perdebatan ini semakin dramatis saat Presiden Obama turut angkat bicara, meminta The-Interview dilanjutkan penayangannya. Seraya menegaskan bahwa tak ada satupun negara yang bisa ikut campur dengan kebebasan berekspresi di Amerika Serikat.
REAKSI
Film ini mendapatkan reaksi yang sangat keras dari Pemerintah dan segenap Diplomat Korea Utara. Perwakilan Korea Utara di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), Kim Song, sebagaimana dilansir Associated Press secara gamblang menyatakan "(Film ini) penghinaan terhadap kedaulatan kami dan kehormatan pemimpin tertinggi kami yang tak bisa dimaafkan," katanya.
Sikap Pemerintah Korea Utara bertentangan dengan mayoritas masyarakat dan netizen. Saat Pemerintah merasa film ini adalah sebuah tindakan yang merendahkan martabat kenegaraan, maka mayoritas masyarakat menganggap ini adalah sebagai kebebasan berekspresi. Masyarakat netizen kita (Indonesia) pun saya lihat juga sudah tidak sabar menanti tayangan film ini. Kebebasan berekspresi dan berkreasi, katanya.
PRESIDEN JOKOWI DAN CELEMEK
Masih ingat dengan kontroversi gambar depan salah satu Koran Australia "The Courier Mail" yang ber judul G20 Special Edition : Welcome to The Paradise ? Tim kreatif koran ini melakukan beberapa proses editing pada ke-20 pemimpin negara yang mengikuti pertemuan G20 di Brisbane, 15-16 November 2014. Presiden Jokowi tentunya tidak luput dari proses ini, sehingga dari sekian model pose dan penampilan, Presiden Indonesia mendapatkan celemek dan peci hitam yang dipakai miring sebagai dresscode nya. Bisa dilihat di gambar berikut :
[caption id="attachment_386776" align="aligncenter" width="670" caption="Gambar Depan Salah Satu Koran Australia yang Menunjukkan Pemimpin Negara anggota G20. Tampak Presiden Jokowi Bercelemek Biru di Paling Bawah. (sumber : merdeka.com)"]
Langsung saja perbuatan ini mendapatkan respon negatif dari Pemerintah dan Masyarakat Indonesia. Tampak seperti Australia sedang merendahkan harga diri bangsa ini, dengan membuat Presiden Indonesia berpenampilan seperti layaknya (maaf) pembantu. Di kanan-kiri semua menulis tentang betapa tidak beretikanya Australia, yang tidak menghargai negara tetangganya sendiri.
KEBEBASAN DAN KEDAULATAN
Nah ini poin pembahasan yg ingin saya angkat. Kebebasan berekspresi seringkali diangkat dan diagung-agungkan sebagai tolak ukur negara demokrasi. Bila ada aturan yang mengikat sedikit saja, maka kalimat pamungkas "kebebasan berekspresi" ini akan kembali digaungkan.
Agaknya kita semua harus belajar satu hal. Tidak ada hal yang kita ucapkan/kita lakukan itu bebas nilai. Semua perilaku, perkataan, tulisan, dan terutama karya, bukanlah hal bisu, melainkan sarana untuk menyampaikan aspirasi yang kita inginkan. Hal utama yang harus diperhatikan, apa yang kita buat/lakukan/katakan/tuliskan itu akan dinilai sesuai dengan dimana kita berada. Misalnya, memakai tank top dan hot pant di pusat perbelanjaan. Di Barat hal ini sangat biasa, tapi jika ini dilakukan di Negara Timur, ini masuk dalam kategori tidak sopan. Ini masih menyentuh hal dasar, yakni nilai kesopanan.
Lalu bagaimana dengan kebebasan berekspresi yang dipraktekkan SONY Pictures dan Koran The Courier Mail? Bagi saya ini kebebasan berekspresi yang kebablasan. Kreatif karena memang membuat film dan gambar sampul pemberitaan itu memang tidaklah mudah, namun kebablasan karena (sayangnya) hal itu menyakiti hati negara lain. Saya yakin kompasianer sudah terbiasa melihat film yang berisi diskriminasi (tokoh utama kulit putih-dengan penjahat kulit hitam. Pelaku kejahatan berwajah Timur Tengah/Asia dengan tokoh utama dari agen rahasia Inggris/Amerika Serikat).
Kita sudah sejak lama dihadap-hadapkan dengan diskriminasi, dan lambat laun kita telah terbiasa. Beberapa dari kita akhirnya terbiasa untuk menganggap mereka yang disana lebih superior dan hebat, sedangkan bangsa kita dan seantero Asia-Afrika tidak memiliki kemampuan sebaik itu. Beberapa dari kita akhirnya selalu berfikir tentang kebebasan berekspresi, dengan tidak peduli adanya etnis/suku/agama/negara tertentu yang tersakiti dan terdiskriminasikan. Â Mendukung segala bentuk persebaran film baru yang sudah pasti tengah membawa pesan tertentu, dengan hanya berfikir mengenai kesenangan dan pengalaman pribadi.
Saya agak heran dengan reaksi netizen yang marah karena Malaysia memboikot Film The Raid beberapa waktu yang lalu. Kita lalu mencaci maki habis-habisan sang negara sahabat, padahal Malaysia pun memiliki alasan tersendiri atas kebijakannya. Film The Raid (bagi Malaysia) mengandung terlalu banyak adegan kekerasan, sehingga pemerintah khawatir dengan perkembangan psikologis masyarakatnya. Bagi saya pribadi, kebijakan itu tidak ada salahnya karena memang itu masuk kedalam ranah Kedaulatan Negara. Seperti pemerintah kita yang mengeluarkan kebijakan pemusnahan kapal yang mengambil ikan secara ilegal di perairan kita. Ini kan juga negara kedaulatan kita? Betul, kan?
Kebebasan berekspresi itu memang sebuah syarat negara berdemokrasi. Saya juga pasti akan risih bila segala sesuatunya harus begini-begitu tidak boleh begini-begitu, dan segala aturan ketat tanpa celah lainnya. Namun ada baiknya kita kebebasan berekspresi yang kita buat/lakukan/ucapkan/tuliskan itu tidak menyakiti suku/agama/ras/negara tertentu. Tetap saja harus ada batasan dan aturan agar hal ini tidak terjadi, seperti di Indonesia telah ada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan Dewan Pers, guna memastikan tidak adanya pihak yang tersakiti dari sebuah Kebebasan Berekspresi, layaknya yang telah tersakiti oleh Film Interview dan Koran The Courier Mail Australia. Karena ada yang jauh lebih penting daripada sekedar kebebasan berekspresi, yakni perdamaian. Dunia tanpa rasa curiga, dunia tanpa rasa saling merendahkan, dunia tanpa konflik fisik maupun non fisik, dan dimana satu sama lain tidak saling menyakiti.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H