Mohon tunggu...
K. Fatmawati
K. Fatmawati Mohon Tunggu... Desainer - Penjelajah

Desainer grafis yang berfokus pada keseimbangan lingkungan, pendidikan, tatanan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan percepatan digital.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Antara Film dan Kedaulatan Negara

28 Desember 2014   21:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:17 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu bagaimana dengan kebebasan berekspresi yang dipraktekkan SONY Pictures dan Koran The Courier Mail? Bagi saya ini kebebasan berekspresi yang kebablasan. Kreatif karena memang membuat film dan gambar sampul pemberitaan itu memang tidaklah mudah, namun kebablasan karena (sayangnya) hal itu menyakiti hati negara lain. Saya yakin kompasianer sudah terbiasa melihat film yang berisi diskriminasi (tokoh utama kulit putih-dengan penjahat kulit hitam. Pelaku kejahatan berwajah Timur Tengah/Asia dengan tokoh utama dari agen rahasia Inggris/Amerika Serikat).

Kita sudah sejak lama dihadap-hadapkan dengan diskriminasi, dan lambat laun kita telah terbiasa. Beberapa dari kita akhirnya terbiasa untuk menganggap mereka yang disana lebih superior dan hebat, sedangkan bangsa kita dan seantero Asia-Afrika tidak memiliki kemampuan sebaik itu. Beberapa dari kita akhirnya selalu berfikir tentang kebebasan berekspresi, dengan tidak peduli adanya etnis/suku/agama/negara tertentu yang tersakiti dan terdiskriminasikan.  Mendukung segala bentuk persebaran film baru yang sudah pasti tengah membawa pesan tertentu, dengan hanya berfikir mengenai kesenangan dan pengalaman pribadi.

Saya agak heran dengan reaksi netizen yang marah karena Malaysia memboikot Film The Raid beberapa waktu yang lalu. Kita lalu mencaci maki habis-habisan sang negara sahabat, padahal Malaysia pun memiliki alasan tersendiri atas kebijakannya. Film The Raid (bagi Malaysia) mengandung terlalu banyak adegan kekerasan, sehingga pemerintah khawatir dengan perkembangan psikologis masyarakatnya. Bagi saya pribadi, kebijakan itu tidak ada salahnya karena memang itu masuk kedalam ranah Kedaulatan Negara. Seperti pemerintah kita yang mengeluarkan kebijakan pemusnahan kapal yang mengambil ikan secara ilegal di perairan kita. Ini kan juga negara kedaulatan kita? Betul, kan?

Kebebasan berekspresi itu memang sebuah syarat negara berdemokrasi. Saya juga pasti akan risih bila segala sesuatunya harus begini-begitu tidak boleh begini-begitu, dan segala aturan ketat tanpa celah lainnya. Namun ada baiknya kita kebebasan berekspresi yang kita buat/lakukan/ucapkan/tuliskan itu tidak menyakiti suku/agama/ras/negara tertentu. Tetap saja harus ada batasan dan aturan agar hal ini tidak terjadi, seperti di Indonesia telah ada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan Dewan Pers, guna memastikan tidak adanya pihak yang tersakiti dari sebuah Kebebasan Berekspresi, layaknya yang telah tersakiti oleh Film Interview dan Koran The Courier Mail Australia. Karena ada yang jauh lebih penting daripada sekedar kebebasan berekspresi, yakni perdamaian. Dunia tanpa rasa curiga, dunia tanpa rasa saling merendahkan, dunia tanpa konflik fisik maupun non fisik, dan dimana satu sama lain tidak saling menyakiti.

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun