Perang antar Mario Teguh sang motivator dan anaknya Kiswinar, bisa dijadikan satu pembelajaran bahwa tidak semua orang ahli atau pakar seperti Mario Teguh yang namanya cukup dikenal dan disegani dan tersanjung tinggi, tidak menjamin ia bisa menjadi pelaku sebagaimana yang dinasehatkan pada pengembira dan pengagumnya.
Stratment Kiswinar saat dalam wawancara, ditanya bukankah ayahmu itu seorang motivator top ? dijawab santai, benar,itu profesi. Â jawaban ini yang sebenarnya menjadi bahan penelitian penulis belakangan ini, Â maka mencoba diangkat untuk saling belajar.
Bagi seorang pakar motivator, mampu memberi nasehat dan masukan pada klaiennya yang bermasalah, Â rumah tangga, hubungan suami istri yang tidak harmonis, perceraian, perjodohan, usaha dengan begitu meyakinkan, hingga banyak terpikat oleh gaya orasinya. Â setidaknya terbukti Mario Teguh namanya sudah ngetop.
Kasus yang menimpa dirinya saat ini dengan anaknya dan perceraian dengan ibunya Kiswinar, sesungguhnya selaku pakar motivator tentu ada banyak trik-trik yang bijak untuk mengatasi keluarga dirinya, tidak sampai terbongkar begitu menyedihkan permasalahan keluarganya.  Sehingga nitizen mengkritiknya habjs-habisan. Ternyata membaca berita di media, dirasakan seolah-olah Mario Teguh jadi bengong, pikirannya tidak jalan. jawaban-jawaban dalam media, sungguh tidak mencerminkan dirinya adalah pakar motivator, lebih cocok  selaku pesakitan yang perlu cari pakar untuk dibantu menyelesaikan masalahnya. jawaban Kiswinar pada acara wawancara TV, bahwa ayahnya adalah berprofesi motivator.  artinya ia berprofesi  sebagai orator motivasi yang tidak tentu bisa sejalan dengan ucapannya. hanya sebatas kehebatan dalam berorasi.
Pelajaran penting. sebagai pakar motivator, belum tentu bisa memotivasi diri seperti apa yang diucapkan. Â seorang pakar hukum, belum tentu bisa taat akan hukum, buktinya banyak pakar hukum yang masuk penjara karena tidak sesuai dengan hukum yang ada diotaknya. Karena dia pakar, pasti dia tau permasalahannya, tetapi tidak menjamin dia sendiri bisa melakukannya. seorang yang kaya akan ilmu agama, tidak menjamin perilakunya sesuai ilmu agamanya. Â Ucapan beda dengan perilaku, tahu jelas dilarang, tetapi dilanggar. dimanakah salahnya ?Â
Sebagai penutup tulisan ini untuk direnungkan bersama : Â
1. Belajar ilmu memperkaya otak, moral seseorang bukan di otak, melainkan di akal-budinya apakah tersimpan ilmu yang sama.Â
2. Otak manusia ahli analisa dan berlogika, maka ilmu bisa tidak lagi mutlak.
3. Akal-budi bersifat rohani, maka ilmu menjadi mutlak.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H