Jokowi Butuh Rp 265 Triliun (7)
Jumat, 29 Agustus 2014 | 14:45 WIB
Jokowi Butuh Rp 265 Triliun. Per Tiga Bulan untuk Wujudkan Janji Kampanye
Memang melihat angka sebesar itu bisa mengecilkan hati, apalagi tidak didukung oleh koalisi merah putih di DPR. Pertanyaannya adakah jalan keluar jika benar-benar ada ganjalan besar di DPR ?
Penulis bukan ahli dalam memperhitungkan anggaran, hanya dengan logika dalam berpikir untuk mengemukakan pendapat yang mungkin bisa bermanfaat dan abaikan saja jika salah.
1.Kenaikan bbm, seyoganya diperjuangkan dengan argumentasi yang tepat, sebagaimana yang sudah dicantumkan dalam visi dan misi. Jika rakyat sudah memilih Jokowi – JK, artinya visi dan misinya bisa diterima rakyat termasuk segala konsekuensinya. Jika direnungkan dengan baik, subsidi itu tidak tepat sasaran. Karena yang menikmati mayoritas pengguna mobil pribadi.
2.Mafia minyak, harus diperangi sampai lenyap, ini permainan tingkat tinggi. Dibutuhkan pengawasan ketat, jika perlu dipasang detektif untuk membuntutinya.
3.Birokrasi perijinan dan segala pengurusan dokumen pabean serta kebiasaan setor kepada oknum pejabat karena jasa, sumbangan tidak resmi, intimidasi kepada pengusaha sebisanya ditiadakan, karena ini menambah beban harga pokok produksi yang berdampak sulit menaikan upah minimum buruh. Biaya tak terduga ini cukup menakutkan bagi pengusaha.
4.Penerimaan pajak merupakan pendapat yang besar. Kenyataannya permainan besar juga ada dalam birokrasi pajak. Jadi pemerintah harus bisa memaksimalkan pengawasan ketet supaya tidak kecolongan ataupun adanya permainan antar wajib pajak dan petugas pajaknya.
5.Adanya kontrol dan pengawasan pada wajib pajak yang sengaja bersembunyi tidak mau bayar pajak, bahkan tidak memiliki NPW dalam usahanya, itu  perlu ditindak. Banyak pengusaha demikian, hanya saja ladang subur untuk kkn, maka selalu ditutupi.
6.Pajak import perlu ada pengawasan ketat, karena banyaknya import barang dengan sistim borongan oleh jasa EMKL, jurtru kecolongan melalui jalan ini, merusak harga pasar dan merugikan pengusaha yang membayar pajak resmi. Termasuk juga persaingan harga produksi dalam negeri yang kalah bersaing dengan barang import yang menggunakan cara borongan.
7.Permainan fiskal dari hasil pertambangan dan hasil hutan. Perlu ditingkatkan pengawasannya. Bukan rahasia bahwa permainan disitu cukup besar.
8.Upaya menggunakan satu pintu atau online dalam segala pembayaran yang menyangkut fiskal perlu diadakan untuk menghindari kecurangan pajak.
9.Pajak kedaraan yang memiliki lebih dari satu unit, akan di lipat gandakan pajaknya. Disamping besarnya pajak keuntungan usaha tidak di samaratakan besarnya. Lebih besar keuntungan akan bayar lebih besar pula pajaknya.
10.Pajak restouran, sudah harus di online, tidak lagi manual, termasuk supermarket, toko-toko retail sudah wajib menggunakan mesin hitung yang online, untuk memonitor ppn yang menjadi hak pemerintah. Kecolongan disektor ini cukup besar terlebih peluang untuk bermainnya wajib pajak dan oknum pajak sangat mudah terjadi.
11.Yang tidak kalah penting APBN, jika perlu dipangkas seperti di DKI, karena sangat besar kemungkinan adanya mark up, tradisi lama membuka peluang bagar bermain dan bernegosiasi dengan pemerintah. Pengalaman DKI bisa memangkas sampai 20%, kenapa ini tidak ? setidaknya untuk menambah kekurangan yang disebut diatas bisa teratasi juga.
Secara logika jika semua sektor diatas terkontrol dengan baik, penulis yakin jumlahnya sangat signifikan, walaupun penulis tidak mampu menyajikannya. Â Namun pengalaman bergaul dan mengenal trik-trik didunia usaha sudah bukan rahasia.
Sekiranya masukan ini bisa bermanfaat, minimal sebagai masukan untuk bisa dipertimbangkan. Yang jelas transparansi akan mendorong rakyat mengawali dengan lebih berani dalam mem-back up kebijaksanaan yang diambil.
Namanya saja sumbang saran, karena ikut prihatin melihat angka segede itu. Kasihan Jokowi pilihan rakyat stress karena anggaran kurang, ditambah kesulitan menembus tembok koalisi merah putih. Semoga kekuatiran ini tidak menjadi kenyataan. Karena anggota DPR yang muda-muda memiliki cara pandang yang berbeda, tidak mudah dikendalikan oleh pemikiran lama, walaupun ada kesulitan karena solidaritas yang tinggi kemudian tidak realistis lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H