Mohon tunggu...
Verunia Kamalini
Verunia Kamalini Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha

Seorang Mahasiswa pencinta sastra yang memiliki hobi menulis, editing dan memiliki cita- cita sebagai penulis yang tulisannya dikenal banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengorbanan Penari Legong "Dari Panggung Tari ke Atas Kanvas"

6 Juni 2023   12:22 Diperbarui: 6 Juni 2023   12:56 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sarasvati Research 

Dalam tubuh perempuannya terpancarlah kekuatan yang tak boleh diabaikan. Ni Pollok, seorang penari legong dari Bali, adalah inti dari keagungan dan bakat taksu yang menyatu padu. Sejak masa kecil hingga akhir hayatnya, dia menari dengan penuh semangat. Mungkin saat ini, dia tengah menari di tengah Pulau Dewata yang indah. Tarian sejati tercipta dari rasa gelisah, riang, dan berbagai perasaan manusia yang tak terungkapkan. Semua itu dirasakan oleh Pollok melalui gerakannya yang mengungkapkan segala rupa emosi dan kehidupan, dari tarian yang penuh kekerasan hingga tarian klasik legong keraton dengan beragam tema. Pollok dan legong menjadi catatan penting dalam sejarah. Pembicaraan mengenai legong tak akan lengkap tanpa menyebut nama Ni Pollok, penari yang lahir dan tumbuh di desa Klandis, Denpasar.

Ni Pollok mulai mengenal dunia tari sejak usia enam tahun di pasar The Legong. Dia sangat menyukai tarian sehingga tubuhnya tergerak secara dinamis seiring dengan irama gamelan yang mengiringinya. Pollok menjadi identik dengan penari legong yang telah mengisi banyak panggung di wilayah Denpasar, sebuah kota yang memiliki tradisi seni dan pasar yang kaya dengan banyak maestro dan seniman terkenal.Perjalanan hidup Pollok sebagai penari legong terbentuk oleh bimbingan Nyoman Kaler, seorang Maestro tari dari Denpasar. Dia membentuk Pollok dengan berbagai gerakan tari, dan Pollok pun menyatukan jiwa dan raganya dalam tarian.

 Dalam kata-kata Pollok sendiri, "Izinkan aku mengenal berbagai gerakan tari, akan ku abadikan seluruh jiwa dan raga untuknya. Tubuh seharusnya bisa berbicara sama baiknya seperti lidah saat berkata. Aku menari untuk menyampaikan perasaan yang tak bisa kuungkapkan lewat kata-kata, tangan, dan kaki yang digerakkan oleh jiwa, yang akan mengantarkan pesan ke seluruh dunia."

Ni Pollok menempa dirinya melalui berbagai gerakan tari yang dia kuasai. Baginya, tubuh harus mampu berbicara sebaik lidah saat berbicara. Melalui tari, dia menyampaikan perasaan yang tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata, tangan, dan kaki yang digerakkan oleh jiwa. Dia ingin menyemaikan perasaan itu kepada dunia.

Pada usia 15-16 tahun, seorang pelukis bernama Adrien Jean dari Belgia datang ke Bali bersama lima bangsawan pada tahun 1932. Dia terpesona oleh keindahan Pulau Bali dan terkesan dengan tarian Ni Pollok yang dipentaskan di sebuah panggung. Keindahan tarian dan kecantikan Pollok memikat hati semua orang, termasuk Adrien Jean. Dia ingin memiliki Ni Pollok sepenuhnya dan memutuskan untuk menetap di Bali.

Adrien Jean, yang kemudian dikenal sebagai Le Mayeur, tidak hanya merupakan seorang seniman yang sangat terampil, tetapi juga orang yang terbuka terhadap budaya dan masyarakat Bali. Dia belajar bahasa Bali dan mengenakan pakaian tradisional Bali. Keberadaan Le Mayeur memberikan pengaruh besar bagi seni lukis Bali. Dia menggabungkan teknik Barat dengan gaya dan tema tradisional Bali, menciptakan karya seni yang unik dan indah. Le Mayeur juga memperkenalkan Bali kepada seniman dan penulis Barat lainnya, yang akhirnya meningkatkan minat dan apresiasi terhadap seni rupa Bali.

Le Mayeur mengiringi Ni Pollok dari panggung tari ke atas kanvas. Dia mengambil foto Pollok dan kemudian menggambarnya, mengabadikan setiap gerak dan goresan warna yang tercurah dari hati sang pelukis. Pada akhirnya, Le Mayeur mengungkapkan keinginannya untuk meminang Ni Pollok. Mereka menikah secara adat Bali dan agama Bali, dan Ni Pollok menjadi istri Le Mayeur.

Kehadiran Le Mayeur pada Ni Pollok memberikan pengaruh besar bagi seni lukis Bali. Dia menggabungkan teknik Barat dengan gaya dan tema tradisional Bali, menciptakan karya seni yang unik dan indah. Dia juga memperkenalkan Bali ke seniman dan penulis Barat lainnya, yang akhirnya menumbuhkan minat dan apresiasi terhadap seni rupa Bali. Dengan gaya modern yang unik dan menghasilkan karya-karya yang memukau, dia menggunakan teknik yang berbeda-beda dalam karyanya, seperti lukisan minyak, akrilik, dan batik, serta warna-warna cerah dan kontras yang khas dalam lukisannya. Salah satu karya terkenal Le Mayeur adalah lukisan berjudul "The Golden Age of Bali" yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di Bali pada masa keemasan. Lukisan ini menunjukkan keahlian Le Mayeur dalam menggambarkan pemandangan alam dan kehidupan masyarakat Bali.

Namun, Kedatangan Le Mayeur pada Ni Pollok memberikan dampak yang signifikan pada seni lukis Bali dan mencerminkan hubungan yang kompleks antara seniman Barat dan masyarakat Bali pada masa penjajahan. Namun, dalam konteks yang lebih luas, hubungan ini juga mengandung sisi kontroversial yang perlu dievaluasi secara kritis. Kisah Ni Pollok yang penuh kesedihan adalah warisan yang patut dikenang selamanya, saat dia hidup berdampingan dengan Le Mayeur. Ni Pollok dengan rela mengorbankan takdirnya untuk tidak memiliki keturunan, demi mempertahankan kesempurnaan tubuhnya sebagai seorang penari dan model lukis. Le Mayeur pun melarang Ni Pollok untuk hamil agar bentuk tubuhnya tidak rusak. Keikhlasan, pengorbanan, dan pengabdian yang ditunjukkan oleh keduanya tak terhingga nilainya.

Pada tanggal 21 Juli 1985, Ni Pollok berpulang walaupun tubuhnya tak lagi hadir secara fisik. Namun, namanya, kisahnya, dan kontribusinya tetap mengalir sepanjang masa. Kisah Ni Pollok menjadi narasi yang memengaruhi generasi muda di Bali untuk mencintai seni kesenian dan tradisi tanpa henti. Ni Pollok adalah simbol dari gairah tari legong yang muncul dari bumi pertiwi, yang memikat dan memberi keteduhan bagi dunia. Pollok adalah legong, dan legong adalah Pollok.

Dalam kisah pengorbanan dan kelelahan Ni Pollok, kita menyaksikan dedikasi yang tak terbantahkan. Dia telah melalui perjalanan yang sulit dan mempertaruhkan segalanya untuk seni yang dicintainya. Namun, ironisnya, di tengah semua pengorbanan itu, hak dan keinginannya yang paling utama tidak pernah terpenuhi.

Ni Pollok telah mengabdikan hidupnya untuk seni. Dia melatih tubuhnya tanpa henti, mengasah kemampuannya dengan penuh semangat, dan menyampaikan cerita melalui gerakan tari yang memukau. Ia menari dengan jiwa dan menyentuh hati penonton dengan keahliannya yang luar biasa.

UWM Libraries 
UWM Libraries 

Ini tentang Pollok dan pengorbanan yang akhirnya dilukiskan di atas puluhan kanvas. Dalam harmoni kisah yang terpintal, Pollok dan Legong bersatu dalam keindahan yang tak terlukiskan. Pollok, seorang seniman yang berani mengorbankan segalanya untuk melukis, dan Legong, tarian eksotis yang mengalirkan jiwa dan emosi melalui gerakannya yang anggun.

Pollok adalah legong dalam bentuk kanvas. Dia menari di atas puluhan kanvas dengan keberanian dan keteguhan, menciptakan alur energi yang memancar dalam setiap goresan cat. Seperti langkah-langkah tarian Legong yang memukau, setiap gerakan kuasnya melukiskan pengorbanan yang dalam, mengungkapkan cerita yang tak terucapkan di dalam jiwanya.

Pollok adalah legong yang tak terhingga. Dia menari melalui kanvas-kanvasnya, mengungkapkan pengorbanan yang tak terkira dalam keindahan yang mengagumkan. Seperti legenda yang tak terlupakan, Pollok mengajarkan kita tentang keberanian, ketekunan, dan cinta yang mendalam dalam seni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun