Mohon tunggu...
Renata Rosario
Renata Rosario Mohon Tunggu... -

Kludia (kepanjangan dari Keys of Ludian) adalah fiksi web serial di mana setiap posting konten selalu sambung-menyambung membentuk narasi dalam satu universe (satu cerita). Universe dalam Kludia membawakan tema Speculative Fiction di masa depan (setting tahun 2035) di mana peradaban manusia dengan segala teknologi maju yang mereka miliki, justru mengalami tekanan hidup yang membuat moralitas tak lagi menjadi pandangan hidup ideal. Di sinilah, pembaca akan diusung ke dalam situasi "dog eat dog" dan "grey morality" trope. Mekanisme multi PoVs menantang batasan fiksi di mana konsep protagonis (lakon) tidak lagi menjadi komoditas utama plot movement. Semua karakter, tidak terkecuali siapapun, bisa "lenyap" dari papan permainan apabila mereka lengah. Alamat website: www.kludia.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Civil #01 (#4)

8 Mei 2014   03:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:44 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="417" caption="telos,kosmos,kaos"][/caption] Chapter sebelumnya |      Chapter berikutnya Bangkalan, Madura, 20 April 2035 Angel mengetuk-ngetuk gagang DiV, menghela nafas, mengumpat karena gadget kesayangannya tidak berfungsi tanpa alasan yang jelas. Seorang wanita muda bersandar di dekat ranjang pesakitan, dia melilitkan lengannya dengan lengan Angel. “Tenang aja, sayang, itu tandanya kamu memang perlu ganti DiV. Punyamu itu sudah ketinggalan jaman.” “Ini hadiah dari mama, sebelum dia meninggal, aku menghargainya lebih dari sekedar benda, Leah.” “Oh, sorry.” Leah tersenyum kecut. “Tapi itu bukan itu masalahnya, sial, sumpah aku melihatnya di rekaman.” “Uhm, mungkin kamu butuh istirahat lebih? Ceritamu sulit dipercaya, Angie.” Angel mengerutkan dahi, “Kita sudah jalan hampir setahun lebih, Leah. Ok, aku memang pernah bohong sekali atau dua kali demi hubungan kita, tapi untuk apa aku berbohong kali ini?” Leah menyibakkan poni rambut dari potongan Bob-nya yang dicukur sangat tipis di satu sisi kepala, mengangkat bahu lalu menggelengkan kepala. Dia menatap Angel dengan tatapan konyol. “Iya, kan?” Tanya Angel. Leah merespon dengan membaringkan kepala dia pangkal bahu Angel. Seorang pria muda menerobos pintu masuk kamar rawat inap begitu saja, dia berhenti mendadak setelah melihat mereka berdua. Dia menggelengkan kepala melihat pemandangan 'langka' yang diperlihatkan Angel dan Leah. “Aku menganggu kalian berdua?” Leah tertawa lalu menjaga situasinya dengan Angel sewajar mungkin, “Sorry, Bima.” “Pintu ada untuk diketuk?” Angel mengatakannya secara retoris. “Buat apa? Aku lebih kenal dirimu daripada orang lain.” Bima melipat lengan di depan dada, jempol tangan kanan mengelus dagu. Wajahnya tampak seperti campuran etnisitas Tionghoa dan Jawa. “Woah, woah, terus aku gimana?” Tandas Leah. “Om Yohan kemaren malam bilang kamu kecelakaan.” Bima mengabaikan pertanyaan Leah, dia meletakkan parsel berisi buah-buahan di dalam lemari es mini. “Yup, begitulah.” Angel tersenyum masam. “Kamu ke sini sendirian? Pacarmu?” “Oh, pacarku? Dia bilang padaku kalian berdua aneh.” Bima menunjuk Angel dan Leah lalu membentuk jari-jarinya sebagai tanda kutip saat mengatakan 'aneh'. “Fire in the hole, agent Frank!” Kata Leah pada Bima dengan menodongkan jarinya seperti pistol. Dia menyebutnya sebagai 'Frank', karena kebiasaan Bima untuk berkata apa adanya. Mereka berdua tertawa, Bima hanya menutup wajahnya dengan telapak tangan lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Oh iya, kamu bisa betulin DiV?” Kata Angel pada Bima. Bima menaikkan salah satu alisnya. “Bukan berarti aku jurusan IT lalu aku bisa betulin semua gadget.” “Coba aja, ada yang aneh dengan DiV punyaku, aku ga bisa menggunakannya lagi sejak tadi pagi.” Dengungan lembut terdengar saat sebuah tombol tertekan, dive glass berubah warna dari transparan menjadi pink pucat. Bima mengangkat gagang DiV untuk memeriksanya. “Sudah berapa tahun umur benda ini?” Tanya Bima. “Hampir setua umur Bruno.” Bima tertawa menyindir. “Tujuh tahun? Kamu pasti bercanda, koq, bisa benda ini masih bekerja?” “Iya, itu umur frame-nya. Ayahku minta custom upgrade saat dia bekerja di la Grande Fleur. Jadi kurasa DiV-ku sudah ter-update untuk mengikuti perubahan terakhir.” “Owh, O.K. Mungkin gara-gara kecelakaan?” “Aku sungguh berharap DiV-ku masih berfungsi. Bagaimana rasanya mengganti anjingmu dengan anjing lain?” “Uhm, ini benda mati, Angel.” “Ya, benda mati yang menyimpan ribuan memori, sama seperti saat kamu mengelus anjingmu lalu tersenyum-tertawa sendiri?” Bima tersenyum meringis, menunjuk jarinya ke Angel. “Aku paham yang itu.” “Dan itulah kenapa aku suka sama Angel, dia benar-benar cerdas bermain kata.” Tambah Leah. “Ok, terserah, aku tidak ingin berdebat.” Kata Bima sambil mengangkat kedua telapak tangan sejajar dengan bahu. Beberapa menit berlalu dengan Leah memberikan beberapa potong buah kepada Angel, sedangkan Bima mengutak-atik DiV. Seutas kabel menghubungkan kacamata ART tersebut dengan seperangkat tabung silinder; satu unit portable CPU. “Apa yang terakhir kamu lakukan sebelum DiV-mu tidak berfungsi?” Tanya Bima. “Hmm, aku download video kemaren malam.” “Di sini ada log camera port, SUTCP dengan nomor ID sekian-sekian, ngapain kamu download dari sana?” “Aku pingin ngecek rekaman video kecelakaanku.” Bima mengangguk-anggukan kepala. Dia menjelaskan secara rinci alasan kenapa DiV milik Angel tidak berfungsi. Satu serial unknown third agent mengunci paksa operating system yang bertanggungjawab untuk mengatur administrasi perangkat lunak yang tertanam dalam DiV. Dia bersikeras bahwa seharusnya OS untuk DiV memiliki fallback agent untuk mempertahankan kinerja OS jika diserang third agent, implikasi yang dapat ditarik, mungkin third agent tersebut bukanlah third agent asing, melainkan sudah dikenal oleh sistem dari proses manufaktur. “Dari ceritamu dan cerita Angel, aku mulai merasakan ada yang aneh.” Kata Leah. “Cerita apa?” Bima memandang Leah dengan ekspresi konyol. “Kamu ga bakal percaya.” Kata Angel. “Jalan hidupmu juga kadang sulit dipercaya.”

Bangkalan, Madura, 22 April 2035 Bima mengantarkan Angel dan Leah menuju tempat terakhir di mana mereka menemui Mara, panti asuhan Dharma Nirmala. “Aku berharap waktuku ga terbuang sia-sia.” Kata Bima. “Pacarmu tahu kamu ke sini?” Tanya Angel. “Nope, aku cuma bilang aku ada acara keluarga. Dia ga bakal percaya aku bersama kalian ke panti asuhan, non-sense.” Bima mengatakannya tanpa melihat lawan bicara, dia memandang spion sambil membetulkan rambut jambul Ivy League-nya. “Tapi aku ga bohong, kan, aku benar-benar ada acara dengan keluargaku.” “Aku senang punya sepupu yang cerdas.” Celetuk Angel sambil menepuk bahu Bima. Leah tersenyum sambil mendengus di kursi belakang mobil. Salah satu anak asuh menyambut mereka di lobby setelah Angel menekan bel di pintu. “Siang, Dewi.” “Selamat siang, Kak Angel. Sudah sembuh, Kak?” Leah menuntun Angel untuk berjalan. “Yah, Lumayan.” “Koq kakak ke sini, bukannya kakak harus istirahat, ini hari minggu, kak.” Tukas Dewi. Angel tersenyum kecil, “Aku hanya ingin bertemu Mara, aku ingin berterimakasih dengannya.” Kening Dewi berkerut, “Uhm, soal Mara...” “Iya? Kenapa dengan Mara?” “Kemarin lusa dia pergi bersama sekelompok tentara. Kemungkinan, sih, dia tidak akan kembali ke sini lagi.” Angel memandang Bima dan Leah bergantian. “Tentara?” “Mereka mencari kandidat potensial?” Bima tertawa sinis, namun tiba-tiba berhenti setelah sepatunya diinjak Angel. “Kenapa tiba-tiba ada tentara dan kenapa Mara pergi bersama mereka? Tidak akan kembali, kamu yakin?” Tanya Angel pada Dewi. “Uhm, aku tidak tahu detailnya, mungkin Bu Ratni tahu sesuatu.” “Hmm, O.K., aku ingin berbicara dengan Bu Ratni kalau beliau tidak sibuk.” Seperempat jam berlalu selama Bu Ratni, pengurus panti asuhan, menjelaskan kepada Angel mengenai kejadian dengan pasukan marinir dan proses pengambilalihan hak adopsi Mara. Kepala yayasan mereka, Bu Atika menggunakan otoritasnya untuk menyerahkan hak adopsi Mara kepada penanggungjawab yang namanya tidak dapat diketahui Bu Ratni.

“Smells fishy.” Kata Leah sembari menuntun Angel menuju mobil.

“Teori satu; Bu Atika memberikan hak adopsi kepada Mr. X dengan imbalan tertentu. Teori dua-” “Teori dua, kita menghabiskan waktu di sini. Terimakasih, Angel.” Potong Bima dengan ketus. “Bukan, teori dua aku butuh bantuanmu, Bima.” Angel menunjuk tempat parkiran di mana lakalantas yang menimpa dirinya terjadi. Bersih, nyaris tanpa bekas, kecuali pecahan-pecahan kaca sangat kecil yang terselip di antara sela-sela susunan batu paving. “Ada yang bisa download video kecelakaanku dari sana?” Angel menunjuk seperangkat lampu lalu lintas. “Seingatku diantara kita hanya kamu yang punya public clearance kelas B.” Kata Leah pada Angel. Mereka berdua menengok ke arah Bima. “Kenapa? Kalian kira aku bisa melakukan sesuatu dengan lampu lalu lintas itu?” “Hmm, gimana yah, kan, kamu belajar IT. Mungkin kamu bisa meretas akses?” “Aku bisa tracking, analisa log atau bahkan data mining. Itu yang kupelajari di kuliahku.” Bima menunjuk ke arah lampu lalu lintas. “Kalau aku bisa meretasnya, aku ga perlu masuk jurusan IT.” “Oh, Frank, you're so cute.” Leah mencibir Bima. “Tapi aku kenal seseorang...” “Hacker?” Potong Angel. “Uhm, sejenisnya? Bukan, uhm.., dia freelancer, tapi kurasa ga ada gunanya kita melanjutkan sampai sejauh itu.” “Why not?” “Hmm, aku bukan remaja lagi, Angel. Aku ga punya waktu luang sebanyak itu.” “Ok, aku bisa paham. BTW, kata ayahku di la Grande Fleur ada beberapa slot internship khusus bidang teknologi informasi, terbatas, tapi bisa diusahakan.” “Aku kadang sulit mengerti dirimu.” Bima menghela nafas. “Tapi..., okelah.”

Surabaya, Jawa Timur, 22 April 2035 Bima mengetuk pintu apartemen, terdengar suara musik yang cukup keras dari dalam ruangan. “Lebih keras, Bima, ga denger, tuh, mungkin.” Kata Leah. “Kamu ada shotgun? Mau aku ledakin ini pintu.” Tandas Bima. Dia mengetuk pintu lebih keras, berulang kali. Suara teriakan perempuan terdengar dari dalam ruangan apartemen, teriakan tadi disertai dengan beberapa desahan yang terdengar seperti 'ah' dan 'oh'. “Bima, kedengarannya temanmu lagi sibuk.” Angel melempar ekspresi wajah konyol kepada Bima. “Lupakan shotgun, aku butuh bazooka sekarang.” “Ini pilihan terbaik kita?” “Jadi bagaimana menurutmu, kita pulang saja atau menunggu?” Beberapa menit berlalu sampai seorang wanita muda bercelana jins mini keluar dari pintu apartemen, mengenakan jaket beludru berwarna hitam untuk menutupi bagian atas tubuh. Dia mengedipkan mata ke Bima sebelum meninggalkan mereka bertiga. Seorang pria berumur sebaya dengan Bima keluar dari pintu selang beberapa detik kemudian. Bagian atas wajahnya tertutupi dengan gadget ART generasi terakhir, seperangkat BrAV. Kacamata ART yang didesain khusus dengan backbone appendage, 'ekor'dalam bentuk sulur bersegmen yang menempel di sepanjang tulang punggung. Sulur tersebut terintegrasi dengan kerangka garmen yang menutupi bagian bahu dan abdomen, layaknya 'tulang rusuk' eksternal. “Woah, Bima!” Si Gadget terkejut melihat Bima berdiri di dekat pintu. “Maaf, aku sudah coba telpon kamu berkali-kali tapi ga ada respon. Jadi, aku langsung ke sini.” “Siapa mereka? Pacarmu? Temanmu?” Si Gadget menunjuk Angel dan Leah. “Ah, kenalkan ini Angel sepupuku, papanya kerja di la Grande Fleur dan dia pacarnya, Leah.” Tukas Bima tanpa memfilter apapun. “Angel, Leah. Ini Tom Tom, aku tidak tahu nama aslinya.” Angel dan Leah menepuk jidat mereka bersamaan. Tom Tom menaikkan kedua alis mata. “Oh, sorry ladies, tunggu sebentar, aku belum berpakaian.” Tom Tom menutup pintu apartemen dari dalam. “Thanks Frank, the fuck was that!” Leah mengumpat. Bima menggeleng kepala, “Percaya padaku, lebih baik dia tahu sekarang daripada belakangan.” “Siapa dia? Maksudku apa pekerjaannya?” Tanya Angel. “Dia Stalker. Orang membayarnya untuk menguntit target yang mereka ingin kejar informasinya.” “Oh.” Angel mengela nafas. “Darimana kamu mengenalnya? Jangan bilang kamu termasuk kliennya.” “Aku kenal dia dari klub gamer. Dia menawarkan jasanya waktu aku curhat soal pacarku.” “Dia stalking pacarmu?” “Yup.”

“You'll have it coming, on your face, Frank!” Cibir Leah.

Tank-top hijau muda membalut badan Tom Tom dengan cukup ketat. Kerangka BrAV masih terpasang dari dalam baju, namun tidak memerlihatkan berkas, setiap segmen didesain setipis dan seelastis mungkin. Tom-Tom mengundang tamu-tamunya untuk masuk. Terbaca tulisan 'I Watch Ur Back' di punggung bajunya. Leah tersenyum sinis dari belakang mengikuti. Bau rokok dan junk food bercampur dalam ruangan, pertukaran udara terasa tidak berjalan baik di dalam apartemen, bahkan saat mendekati kamar tidur, bau khas dari permeasi air mani masih tercium. Leah dan Bima menyipitkan mata, menutup lubang hidung. “Kamarmu benar-benar tercium seperti lubang neraka, ada room care?” Tanya Bima. Tom Tom tertawa meringis. “Oops, sorry, sebentar aku semprot pewangi ruangan.” Beberapa typing pad mengitari satu unit portable CPU dalam formasi setengah lingkaran di atas meja makan. Setengah bagian lain dari meja tersebut dipenuhi oleh beberapa tumpukan kotak pizza, dalam jumlah besar, terlalu banyak untuk dimakan satu orang saja dalam waktu satu hari. “Kalo mau pizza ambil aja, partner-ku tadi beli terlalu banyak.” Tawar Tom Tom. “Ok, thanks.” Kata Bima. Tidak ada di antara mereka bertiga yang mengambil potongan pizza. Tom Tom mengenakan tutting rim, sepasang gelang elektronik, untuk mengoperasikan BrAV dengan gerakan tangan bebas. Tangan mengepal lalu direnggangkan, ibu jari dan jari telunjuk membentuk lingkaran, sebuah okay gesture. Sensor pada kerangka eksternal BrAV menangkap gerakan otot bahu, punggung, dan abdomen; sedangkan tutting rim menangkap otot lengan. Hasil dari olah sensor tersebut membuat dive glass berubah warna dari transparan menjadi putih tulang, mengindikasikan pengguna dalam keadaan online. “Keren.” Celetuk Bima, mengacungkan kedua jempol. “BrAV generasi kedua, lebih mulus, lebih sensitif, lebih cepat. God bless Darren.” Kata Tom Tom dengan senyuman. “Aku sudah menunggunya selama lima tahun.” “Darren. Lima tahun buat merombak desain BrAV dari alien gizmo jadi seperti ini?” Leah memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri bergantian untuk memeriksa penampilan Tom Tom. “Lumayan bagus. Mungkin pas digunakan Angel.” “Ya begitulah.” Tom Tom memandang ke arah Bima. “Sebentar lagi partner-ku datang, jadi kusarankan kalian langsung to-the-point aja.” Terjadi penukaran informasi antara klien dan agen. Diantara mereka, pertanyaan dan pernyataan bergulir satu-persatu membentuk sebingkai gambaran besar mengenai situasi kasus Mara. “Ok, 15.000 US dollar untuk kasus ini.” Tawar Tom Tom. Mata Bima, Angel, dan Leah terbelalak. “Bagiku itu harga yang layak, soalnya; pertama, kalian cari info dari seorang hantu. Kedua, tampaknya dia punya afiliasi rumit, dan ketiga-” “Aku bisa beli tas LV dengan uang sebanyak itu.” Potong Angel. “Ketiga, aku bisa mencium bau polisi dari kasus ini.” Bima menoleh ke arah Angel, mengerutkan dahi. “Sudah kubilang, ini hanya buang-buang waktu.” “Atau aku ada tawaran lain. Kata Bima tadi, papamu kerja di la Grande Fleur, kan? Di departemen apa?” Tanya Tom Tom. “Human Resource Department.” “Hmm, HRD, jadi aku asumsikan papamu punya banyak data employee, kan?” Angel mengangguk. “Professor Hermann Abraham Philead. Kalau aku bisa dapat data lengkap dari resume-nya, aku berikan potongan 50%.” “90%.” Tawar Angel. Tom Tom tersenyum sinis. “60%.” Angel tersenyum. “Aku bisa tahu dari pekerjaanmu, tampaknya professor siapapun itu, punya kredensial sangat penting. Jadi-” “Ok, tawaran terakhir, 75% potongan, tapi aku minta uang muka 500 dollar, gimana?” “Deal. Transfer digital atau tunai?” Angel menawarkan alternatif metode pembayaran. “Aku lebih suka tunai. Profesiku, paham?” Kata Tom-Tom. Beberapa lembar uang, dengan total enam ribu dua ratus lima puluh rupiah, bertukar tangan setelah Angel mengumpulkan dana cair dari dompetnya, dompet Leah, dan dompet Bima. Mereka membawa uang tunai dalam jumlah besar karena melewati trafik trans Surabaya-Madura. Jalur tol yang akan menguras uang tunai dalam jumlah besar bila komuter memilih menggunakan mobil pribadi. Tom Tom menjelaskan bagaimana dia menjalankan operasinya, etika klien-agen, dan beberapa tetek bengek mengenai petunjuk identitas Prof. Philead. “Kalian tahu, jika Wonder Woman benar-benar ada, aku mau jadi pacarnya.” Kata Tom Tom. “Yeah, Wonder Woman.” Bima menoleh ke arah Angel, melemparkan cibiran padanya. Tangan kanan Tom Tom bergerak di udara, jari telunjuknya tampak seperti menekan sesuatu. “Oh, Bima, aku dapat rekaman video Nanda jalan sama cowok, lebih tua darimu, sekitar tigapuluhan.” “Om-nya? Saudaranya?” Tanya Bima. “Hmm, mungkin. Apa Om-nya punya kebiasaan merangkul pinggul pacarmu?” Bima serta merta berdiri dari sofa. “Di mana dia sekarang?” “Woah, tenang dulu Bima, biar aku klarifikasi dulu, masih ada kemungkinan lain.” Tom Tom menahan bahu Bima. Dia menunjuk sofa, menyarankan Bima untuk duduk kembali. Bima menuruti saran. “Maaf, kadang informasi dari-ku bisa memancing emosi. Aku selalu memberikan update feed kepada klien-ku secepat mungkin, tapi aku minta kepala dingin kalian, sebelum kalian lompat pada kesimpulan.” “Seberapa cepat kamu bisa dapat info tentang Mara? Di mana dia sekarang dan apa riwayat hidupnya?” Tanya Angel. Tom Tom memandang Angel dan Leah. “Sebetulnya aku masih belum paham, kenapa kamu begitu mengejar Mara? Apa pentingnya dia untukmu?” Leah dan Bima bersamaan melempar pandangan pada Angel. “Apa biasanya kamu tanya hal seperti ini dengan klienmu? Klienmu tidak terganggu?” Tanya Angel. Tom Tom tertawa. “Aku tahu background klienku hanya dari melihat tampilan mereka, biasanya customer seperti kalian paling cuma memintaku untuk stalking orang-orang terdekat, biasalah, hal pribadi. Aku juga ada klien, dan aku bisa tahu dari cara mereka menatapku; memintaku untuk tutup mulut dan lakukan order semulus mungkin. Tanpa meninggalkan jejak.” Angel menghirup udara lalu mengembuskan nafas panjang. “Pertama, dia sudah menyelamatkanku. Kedua, aku ingin dia sebagai subyek penelitianku dan terakhir, dia membuatku semakin penasaran.” “O.K., cukup jelas.” Tom Tom tersenyum. Seorang wanita muda dengan celana jins mini dan jaket beludru hitam, membuka pintu apartemen dari luar. Dia duduk di meja makan, mengenakan DiV, mengacuhkan orang lain dalam ruangan yang sama. “Oh, Mindy sudah balik.” Tom Tom mengeluarkan sekeping koin dari kantong lalu memberikannya pada Angel. “Kalau ada orang lain selain aku memberimu info tentang Mara, tunjukkan koin itu, kalau mereka menunjukkan koin yang sama, mereka salah satu partner-ku.” “Kalau ga gimana? Atau aku dalam situasi di mana aku ga bisa menunjukkan koin?” Tanya Angel. “Jangan percaya info dari mereka.” Angel mengangguk. “O.K., saatnya pulang anak-anak! Anggap kalian tidak pernah mengenalku.” Tom Tom memandang ke arah Bima. “Tolong hubungi aku terlebih dulu sebelum kalian mengundang orang asing ke tempatku, ga sehat buat bisnisku, paham?” “Sorry, Tom Tom. Tapi aku yakin mereka berdua bisa jaga rahasia.” Kata Bima. “Aku benar-benar malas pindah apartemen.”

Angel mengetuk pintu kamar kerja pribadi di rumah ayahnya. “Masuk.” Sepasang lemari buku berdiri sejajar dengan kedua sisi ruangan yang saling berhadapan. Berbagai macam buku mulai dari majalah jurnal sampai buku cetakan hard cover mengenai psikologi memenuhi tiap sudut lemari. Sebuah meja dengan bahan dasar kayu jati ditempatkan beberapa kaki di belakang jendela. Ayah Angel, Yohan Hartanto, duduk di meja tersebut menghadap pintu. Angel mendekati ayahnya yang sedang sibuk dengan laptop. Dia berjalan tertatih-tatih menahan rasa sakit di daerah tulang kering dan lutut kaki. “Pah, Papa mau bantu aku cari info buat studi kuliahku?” Tanya Angel pada ayahnya. “Uhm, bentar, papa masih sibuk. Bukannya kamu masih harus istirahat-” “Professor Hermann Abraham Philead. Papa kenal?” Angel menyebutkan nama begitu saja untuk menarik perhatian ayahnya. Yohan melepas kacamata, menoleh ke Angel. “Professor Philead. Dari mana kamu tahu dia?” “Uhm, dia memang bukan psikolog, tapi aku yakin inovator seperti dia pasti dekat dengan Darren.” “Dia memang dekat dengan Darren, tapi sekarang dia sudah tidak lagi aktif di Alter.” “Oh, gitu, tapi perusahaan masih punya arsip resume-nya, kan?” Yohan mengangguk pelan. “Kalau gitu, boleh aku lihat resume Professor Philead?” Yohan tertawa kecil. “Papa ga bisa sembarangan memberikan arsip milik perusahaan. Lagipula buat apa kamu butuh resume-nya?” “Studi kasus, aku tertarik meneliti resume individu-individu seperti Professor Philead.” Yohan mengangguk-anggukan kepala sambil mengelus dagu, dia kembali mengenakan kacamata, mengetik sebaris kata pada laptop. “Sebentar, papa cek dulu.” Bersusun-susun kolom dan baris terlihat sebagai display dari arsip digital. Tabel resume menampilkan data-data pegawai yang terdaftar pernah bekerja di bawah naungan Alter Inc. Yohan mengetikkan 'Philead' sebagai kata kunci pencarian. Dua nama ditampilkan sebagai hasil pencarian; Hermann Abraham Philead dan Juliet Miriam Philead. Yohan menekan baris entry dengan nama Hermann Abraham Philead. Sebuah peringatan muncul. “Ah, ga bisa ini. Kredensialnya dikunci sama pusat, butuh Alter access clearance kelas A keatas.” Wajah Angel merengut. “Emang kamu butuh banget? Penting buat laporan akademismu?” “Penting, sih, itu bisa jadi tiket rekomendasiku supaya bisa masuk program master psikologi di California, seperti yang papa mau.” “Oh, iya, iya, Papa paham, nanti papa usahakan kalau ada waktu di kantor.” Angel melihat baris entry lain dengan nama Juliet Miriam Philead. “Kalo yang itu, Pa? Juliet?” Yohan meng-klik baris entry milik Juliet M. Philead. Sehalaman biodata dan resume muncul dengan blok-blok hitam menutupi beberapa kalimat. “Sementara, aku juga boleh periksa resume-nya Juliet Philead?” Yohan mengerutkan dahi, mengelus dagu. “O.K. Nanti Papa kasih kamu hasil print-nya.” “Thanks, Pa.” Angel tersenyum. “Butuh bantuan?” Tawar Yohan pada putrinya. “Ga usah, aku bisa naik tangga sendiri.” Angel kembali ke kamar tidur. Smartphone-nya berbunyi. Dia membaca sebaris text message dari nomor tak dikenal.

cafe night pot, bangkalan

bw koin

selasa jam 19 tpt

dtng sndiri JANGAN bw teman

Angel menyisir akar rambutnya dengan jari lalu melempar pelan smartphone ke ranjang. Chapter sebelumnya |      Chapter berikutnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun