[caption id="" align="alignnone" width="417" caption="Reality is Conviction"][/caption] Bab sebelumnya | Bab berikutnya San Jose, California, 23 April 2035 (UTC -8) Satu unit terminal holo-display menampilkan dua wajah lawan bicara dalam sebidang panel maya; satu di antara mereka adalah Janus. Seorang wanita dengan usia sekitar penghujung duapuluhan; 27-29 tahun, berdiri di depan terminal tersebut untuk berinteraksi dalam komunikasi jarak jauh.
“Is she going to last through battery tests?” Tanya wanita itu. Suaranya lembut namun kualitas artikulasi tiap kata terdengar dalam dan jelas; mezzo-soprano.
Janus hanya membalas dengan sebuah dengusan disertai tarikan bibir; terkesan mencibir.
“You know this game, lab geek. You made one more fucking troublesome decision, and I'll add one more hole to your fucking face.” Ancam seorang wanita lain yang muncul di sebelah Janus dalam panel. Warna suaranya lebih gelap dan berat daripada wanita pertama; kemungkinan besar usianya pun juga lebih tua. Wanita itu menodongkan jari seperti pistol ke arah layar, ke arah kedua lawan bicaranya, tapi mereka bertiga mengerti, siapa target yang dimaksud.
“Aye, Chief, I won't let you down, you see, there's a reason why she was raised on orphan care rather than being trained here; considering her peculiar trait to enter the stage of die Aufklärung.” Janus berhenti berbicara sebentar, memberikan jeda bagi lawan bicara untuk memproses ocehannya yang diakhiri sebuah istilah.
“Carry on.” Perintah wanita kedua.
“To preserve her sanity.” Janus tertawa sekilas. “Imagine what will happen if we got another individual with a temper to match with you, Chief.”
Wanita kedua menyipitkan mata lalu mengangkat senapan laras pendek. Dia menarik pelatuk, sebutir peluru kaliber .22 meluncur bebas menghantam sebidang permukaan; kedua lawan bicara hanya sempat mendengarkan letupan keras disertai kemerisik loncatan bunga api. Otomatis kerusakan tersebut menghentikan transmisi dari pihaknya.
“End of transmission, from our dreaded Chief, such a temper she has. Yours might be way more compromising than her, but I know you are just as callous as she is.” Kata Janus pada satu orang wanita yang masih bergabung dalam jaringan telekomunikasi.
“Of course no. I'll resort to civilized behavior whenever possible.”
“An acorn doesn't fall far from its tree, yes, miss Philead?”
“My father has left a legacy not even his daughter could fathom, which in turns, left such indignant impression on me. I'm not as brilliantly fucked up as my father.”
Janus tertawa kecil. “It took more than being a genius to slant to his enigmatic path. You know, probably your father is a 'Messiah', only that he is a bit unhinged.”
Miss Philead, atau lebih sering disebut dengan nama Juliet oleh keluarga dekat, menggelengkan kepala sebagai respon dari pernyataan konyol Janus. Jika saja memang benar ayahnya adalah sesosok 'Messiah', mungkin memang benar, kiamat sudah dekat; kiamat bagi dunia lama untuk memberi jalan bagi dunia baru.
“Alright, Janus, let's just drop all the crap and get straight to business. What is her status now? Is she ready?” Tanya Juliet.
“She is. Do you want to watch the whole session?”
“No, I can't afford vacant time to watch it all. I have to attend meeting.”
“To accompany Darren?”
“No, I'm to depart personally, to Indonesia. It's rather an unofficial, off-record arrangement.”
“Ah, of course, our recent recipient is Indonesian as well. If I'm not mistaken it's, uhm...,” Janus tampak sibuk menggerakkan jari-jemari di udara; terminal di sisinya terus berbunyi sebagai sinyal dalam proses menyorot tampilan data.
“Naga Lintang Samudra. His father has been registered as a key holder.” Juliet mengucapkan nama tersebut dengan aksen American English, sehingga artikulasi terdengar kabur.
Janus menarik nafas lewat mulut sambil mengacungkan jari telunjuk ke atas, tapi beberapa detik kemudian dia tampak mengurungkan niat untuk mengatakan sesuatu.
“Yes, they probably want to establish a measley clan of Ludian key holders. Just like what we dealt from Mumbai.”
“Do you think this particular recipient could handle her?” Tarikan garis bibir Juliet meninggalkan ekspresi ambigu sebagai respon dari pertanyaan Janus; entah dia mengiyakan atau sama sekali tidak peduli.
“Anyway, just take a glimpse of her, will you? Note that she is one among prominent, if not almost impossible marvel your father has invested most of his time with.” Tawar Janus pada Juliet. Dia mengayunkan jari telunjuk ke udara untuk mengganti fokus kamera pengawas untuk langsung menyorot ke sebuah kapsul besar seukuran daun pintu. “And actually came into fruition.”
“Most of his time..., to the point he completely forgot he has a family.”
Di dalam ruangan yang diawasi Janus, seorang perempuan dengan warna kulit gelap terbaring di dalam sebuah kapsul penunjang kehidupan. Tertahan dalam posisi 30º, bagian belakang kapsul terhubung dengan sulur-sulur mirip kabel berwarna hitam, menembus bagian dalam kapsul dan tertancap sepanjang tulang punggungnya. Perempuan berkulit gelap dan beberapa puluh kapsul serupa mengitari ruangan luas dengan interior serba putih, garis-garis biru berpendar membentuk pola seperti lingkaran labirin di lantai, pola tersebut berpusat pada sekolom mesin silinder berdiameter 12-15 kaki. Kolom silinder berdiri kokoh seperti pilar penyangga yang memijak dari lantai sampai langit-langit ruangan, satu unit mainframe. Tersusun empat huruf timbul pada mainframe silinder tersebut, disertai sebaris kode di bawahnya.
KAOS
SD030001
Tutup palka kapsul perempuan berkulit gelap terbuka setelah Janus menjetikkan jari. Janus tersenyum lebar.
“The prodigal Harbinger. Let's see to it, shall we?”
“I'll take my leave, Janus. You do your part best, as I do my part of the deal.” Kata Juliet sambil menekan sebuah tombol digital pada permukaan terminal untuk mengakhiri sesi telekomunikasi.
“DALI, display the message left by our CEO.” Perintah Juliet.
“Request granted, please wait for a moment.”
Selama proses unduh informasi, Juliet duduk di kursi terdekat dari meja untuk mengistirahatkan kaki.
The message was encrypted in two-way hash. It may take about six to eight hours to decrypt whole message. Do you want to proceed?”
“Two-way hash that took ages to complete? What on earth is he playing myself with? Alright, alright..., whatever...,” Juliet menghela nafas. Sebelum proses enkripsi menguras habis kekuatan komputasi DiV, ada sebuah pesan lain yang ingin dia ketahui. “DALI, display the message left by Romeo Philead before you proceed with decryption.”
“Query modified. Please wait for a moment.”
“What now? Little prick.” Gumam Juliet. Panel semi holo-display dipancarkan langsung dari DiV. Sesuai dengan desain pendahulunya, DiV menggunakan piranti keras khusus; berupa 'visor' semikonduktor dive glass untuk mengonversi spektrum cahaya diluar daya tangkap mata manusia sebagai input, lalu memrosesnya menjadi tatap muka interaktif sebagai output.
Pesan ditinggalkan dalam bentuk video message. Terlihat wajah seorang remaja pria berusia sekitar 16-19 tahun dengan etnisitas campuran antara Jerman dan Yahudi, kurang lebih sama seperti Juliet. “Hi, Sis! I left this message not to pull some prank on you, I swear! Please call me as soon as you are available. I repeat, I'm direly serious this time, do contact me when you can!”
“Just unbelievable! Perfect timing that little scoundrel. Not even the President of the U.S. could waste my time, not you!” Juliet berkata tanpa ada lawan bicara untuk merespon, dia hanya ingin mengekspresikan emosi sementara.
Dia melesakkan perangkat DiV yang sedang dalam proses decryption ke dalam tas Hermes untuk ditukar dengan seperangkat DiV lain. Entah berapa jumlah alat tersebut di dalam tasnya; atau mungkin bahkan ada ribuan benda lain saling tumpah tindih di sana, hanya Tuhan yang tahu.
“DALI, arrange my flight schedule to Indonesia. I'm going to attend a meeting there.” Perintah Juliet pada perangkat DiV lain yang diambilnya dari dalam tas.
“Processing Request. Please specify E.T.A. for your selected destination and unit of Airliner.”
“DALI, I'm going to land on Surabaya Airport at seventeen o'clock with our corporate private airliner.”
“Processing Request. You are going to embark immediately to Juanda Airport with one unit of Alter Private Airliner, E.T.A. is 19:35 UTC + 7, expected delay of half an hour due to ongoing air traffic and unidentified variables. Please confirm to proceed further.“
“DALI, yes, I should be going now.” Deru jet engine mulai terdengar dari hangar. Setiap gedung fasilitas utama Alter Inc. dilengkapi dengan private hangar; khusus untuk penerbangan kilat ke berbagai tujuan dalam waktu 24/7, bukan untuk sembarang karyawan, hanya pekerja dengan Alter Access Clearance kelas A keatas dapat mengantongi tiket untuk meluncur di udara dengan kecepatan maksimum mach III,hampir secepat SR-71 “the Blackbird” minus kemampuan stealth. Seorang pria paruh baya dengan seragam pilot menyesap secangkir kopi setelah mendengar aktivasi mesin jet secara otomatis; sinyal untuk keberangkatan. Setiap unit Alter Airliner mampu terbang sampai tujuan dengan auto-pilot, namun sesuai standar operasi, satu orang pilot dan satu ko-pilot harus bertugas di pos masing-masing untuk menjamin kelancaran penerbangan. Juliet berjalan dengan langkah cepat disertai asisten. Gaya berjalannya lebih cepat dari New Yorker walking gait, mengesankan, bagaimana dia menjejak tanah dengan ujung high-heel setinggi lima sentimeter secepat hampir dua meter per detik tanpa terjatuh atau terlihat konyol. Untung, si asisten juga turut berevolusi untuk mengikuti ritme berjalannya. Dua, tiga, empat kepala menoleh ke arah mulut hangar saat suara khas Juliet mulai menusuk gendang telinga; dia berbicara dengan perangkat DiV terpasang di kepala, tanpa menyadari suaranya menyaingi deru mesin pesawat. Semua pekerja senior Alter memberinya label sebagai “the Queen Bitch” karena beberapa faktor, seperti; berbicara dengan pekikan keras di hangar tanpa ada satupun kru berani untuk mengintervensi, kru terakhir yang melakukannya menamatkan kariernya sendiri di ruang pengadilan sebagai ganjaran. “Good evening, Miss Philead.” Sapa salah satu pilot. Juliet berlalu di hadapannya begitu saja tanpa membalas.
“Good evening, Mr. Homme, I'm on behalf of Miss. Philead would like to inform you that we should head to Surabaya, Indonesia, immediately.” Kata si asisten dari Juliet.
“Affirmative, we are ready to depart.” Sang pilot memberikan gestur konfirmatif dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengah sejajar dengan pelipis. Si asisten membalas dengan senyuman lalu berlari kecil mengejar Juliet ke dalam kabin pesawat.
Jam digital di kokpit menunjukkan waktu 20:20, jika perjalanan lancar, pesawat itu membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam untuk tiba di tujuan.
“Excuse me, did you address it to myself?” Tanya si asisten dengan ragu.
“Yes, of course, there's no one else to talk to.” “Oh, I follow, do you want me to do something?”
“For god's sake, can anyone but Darren act naturally upon me?”
Si asisten, wanita muda dengan karier yang menurut standar publik cukup menjanjikan, tidak lagi semulus impian setelah menyadari bahwa dia bekerja di bawah pimpinan seorang wanita lain dengan temperamen yang menurutnya bisa disejajarkan dengan Gordon Ramsay. Satu kesalahan kecil kemungkinan besar bisa berbuntut panjang bila dilakukan tepat di momen sensitif.
“Well, naturally I'd default to formal conduct, simply due to the fact that you are my superordinate, unless you want me to drop it, though, under some unexpected occasion.”
“There was once an occasion, much like this one, I recalled I had been with my father's liaison in some sort of private plane, when I was seventeen. Could you believe that? My seventeenth birthday!” Si asisten terkejut tiba-tiba atasannya menyinggung ayahnya atas alasan pribadi. “He promised me that upon my seventeenth birthday, he'd show up, to sing me some stupid birthday jingles. But he didn't keep his promise. Instead I had to listen to his liaison explaining the nature of his intricate dealing. What kind of dealing was that? Unbelievable!”
Serba salah, si asisten berusaha bersimpati untuk memastikan bahwa dia memang mendengarkan ocehan dari atasan. “But-”
Sebelum lawan bicara sempat mengatakan opini, Juliet memotong, melanjutkan ocehan. “What you'd do if you were in my shoes during that occasion?”
“Honestly? Honestly I'd resent my dad for failing to keep his end of promise. But, of course I can't put any judgment like that while I knew my dad working his best to improve the living of his family.”
“Fair enough.”
“I beg pardon, but your father, Professor Philead, is a venerable profile. I believe he is working on something to do his family a great favor.”
“What do you mean? Him, making amends to us?” Juliet berhenti sejenak untuk memertimbangkan beberapa hal yang berputar di pikiran. “Hmm, probably, but I'm not sure it was under his own initiative to do so.”
Si Asisten tersenyum, menganggukkan kepala. “Anyway, have you been to Indonesia before?”
“Once, yes, but it was some sort of complicated predicament.” Sepasang alis mata si Asisten turun ke jembatan nasal, dahi mengerut, mengesankan keinginan untuk melupakan segera apa yang telah dia bicarakan.
“Personal matter? Ah, do tell me then.”
“I wished I didn't have to do so, but since you inquire it yourself...,” Si Asisten menyadari Juliet mulai mengetuk-ngetukan jari di tangan kursi penumpang. “It was a jumble of personal matter and it was quite grave, I basically arranged my own funeral there.”
“How so?”
“Well, first of all, I'm not a drug addict, but I assume anyone, mostly youths on my generation at least have tried to smoke weed once in their lifetime.”
Senyuman terlihat dari bibir Juliet, entah apa implikasi dari senyuman tersebut.
“We heard of Madura Island on some ads, said to provide the best dried weed available on market. It was simply tantalizing to us, foolish youth. So we came there under the casual guise of 'tourist on summer vacation' and before we know it, we nearly lost our life.”
“Let me guess, under captivity of gang members? Bearing the symbol of a blood droplet over rippling waves? It's Samudra Merah, wasn't it?” Juliet mengucapkan dua patah kata dalam bahasa Indonesia, terdengar seperti 'Samoodra Marah'.
Mata si Asisten terbelalak mendengar istilah tadi, “How-”
“And they let you free after discovering that you were registered as an intern at Alter, right?” Potong Juliet.
“How on earth you gained that information? Have you been there?”
“First of all, It's true that Madura provides one among the best quality of Marijuana, and second to note, I've never been there.”
“But-”
“Let's say it was the result from some sort of complicated predicament.”
“Ah, fair enough.” Si Asisten tersenyum, bahkan sempat tertawa sekilas, menyadari bagaimana Juliet memutar balik arah pembicaraan.
“By the way, do you bring some portable video game? Any good game I could borrow to spend the time with?”
“Aha! You do like to play video games!”
“I wouldn't call it a hobby, it's just I'm running out of e-books with content as good as its cover could impress.”
“I see.” si Asisten merogoh tas pribadi lalu menyerahkan sebuah tablet elektronik kepada Juliet. “There you go.”
“Might as well put some strain on your device. Once I play, I play it hard, beating the best score if I have to.”
Si asisten merespon hanya dengan sebuah senyuman.
“From here onward we will part our way, you are going to la Grande Fleur to attend an arrangement with Dr. Burness on behalf of myself.”
“Affirmative. Where will you go then?”
“It's none of your business. Just carry on with your task and everything else has been considered.”
“Alright, take care Miss Philead.” Seorang orang pria berpostur tinggi, besar, berjas hitam menjemput Juliet dari pintu kabin pesawat. Sedangkan satu orang lain dengan seragam serupa berdiri di samping mobil sedan hitam. “We are going to take you to Mr. Samudra, please go this way.” Pria asing tersebut mengantar Juliet masuk ke dalam mobil. Tanpa rasa curiga atau khawatir Juliet duduk di kursi belakang. “Are we good to go now, Miss Philead?” Tanya si Supir. “Yes, we should go.”
“Decryption process has been completed. Do you want to view the decrypted content?”
“DALI, let me view it.” Sepenggal rekaman video menunjukkan seorang pria paruh baya sedang mengangkat sebilah instrumen elektronik berbentuk seperti harmonika di tangan kanan, sedangkan tangan kiri melambaikan tangan kepada orang lain yang berada di luar jangkauan rekaman. Tidak berapa lama kemudian orang tersebut datang dengan sebuah meja portable, meletakkan kue Blackforest dengan hiasan sepasang lilin yang membentuk angka '30' di atasnya. Pria paruh baya itu mulai mendekatkan instrumen ke mulut, meniupnya. lantunan nada 'happy birthday' terdengar dengan lembut. “Happy Birthday, Juliet.” Kata pria paruh baya tersebut. Orang lain yang tadi membantu memasang birthday cake mulai melambaikan tangan ke layar. “And welcome to thirty.” Juliet tersenyum, tertawa pendek. Si supir sempat melambatkan laju kendaraan lalu menoleh ke belakang. “It's okay, never mind it.” Kata Juliet pada si Supir. Dua orang dalam rekaman tersebut adalah Professor Philead; ayah Juliet, dan Darren. Sekuat apapun wanita dengan label 'berdarah dingin' dari penilaian Janus tersebut berusaha untuk menahan emosi, akhirnya dia mengusap air mata yang meleleh di pipinya. Bab sebelumnya | Bab berikutnya Catatan kaki: text-text dialog dalam Bahasa Inggris diterjemahkan secara interaktif di www.kludia.com (sumber originalnya). Di sini fitur tersebut tidak dapat diaplikasikan, mohon maaf atas ketidaknyamanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H