pemerintahan dalam konteks hidup berbangsa adalah berdasarkan peraturan yang ada.
Semua tindakan apapun yang dilakukan oleh penyelenggaraDi Labuan Bajo Bupati Edi merumahkan TKD (Tenaga Kontrak Daerah). Itu sangat terasa pada awal tahun 2022 ini. Itu saya baca di media sosial dan menjadi bahan pembicaraan viral di beberapa group Whatsup. Alasan Bupati Edi adalah efisiensi. Nah, tentang TKD beserta alasan efisiensi inilah yang menjadi bahan yang belum habis dibicarakan itu. Saya menangkap kesan bahwa arti efisiensi dalam obrolan tersebut adalah semata-mata tentang penggunaan pendapatan & pengeluaran (baca 'uang').
Bupati melakukan itu karena efisiensi, itu betul. Saya lihat bahwa efisiensi di situ adalah berdasarkan arti dalam Peraturan Pemerintah no.49/2018 tentang Larangan TKD (selanjutnya disingkat PP), ia diberi kewenangan untuk wajib mengeksekusinya. Selain menjalankan perintah hukum, juga adalah hak prerogative sebagai Kepala Daerah untuk melaksanakan PP itu. Dan hal itu harus dilakukan oleh semua Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/ Walikota) di Indonesia.
Dilihat dari sisi arti efisiensi yang berhubungan dengan pendapatan & pengeluaran (uang), maka hal itu bisa disebut tidak efisien. Tetapi ketika aturan hukum sebagai payungnya, maka pandangan dari sisi uang ini bisa terkorbankan. Korban di sini bukan berarti "sebuah kesalahan", tapi memang otomatis tergilas. Ketergilasan itu tidak mengakibatkan seorang Kepala Daerah disebut telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Ingat, alasan PP untuk hal ini adalah 'efisiensi pemerintahan', dan ingat pula, bahwa arti efisiensi pemerintahan itu luas, bukan hanya soal uang semata. Di dalam arti ini bisa terkandung kualitas sumberdaya manusia dalam pemerintahan, ketahanan bangsa untuk kehidupan negara pada masa berkelanjutannya, dan lain-lain. Jadi, TKD yang tergilas itu bukan karena kesalahan Kepala Daerah, karena ia sebagai eksekutor PP plus hak prerogativenya terhadap TKD. Bukan juga kesalahan TKD itu sendiri, tetapi berhenti terhormat karena Peraturan Yang Terhormat yang telah disetujui oleh Lembaga Yang Terhormat, yaitu DPR di Senayan.
Pada tahun 2023 Pemerintahan RI harus bersih dari TKD
Seperti saya katakan di awal bahwa semua tindakan apapun yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan dalam konteks hidup berbangsa adalah berdasarkan peraturan yang ada. Kata yang populer adalah "hukum sebagai panglima", yang harus ditaati. Dan siapapun yang melanggar termasuk oknum di dalam pemerintahan itu sendiri harus dihukum. Karena semua warga sama kedudukannya di hadapan hukum, tanpa kecuali (Equality before the law). Dalam pemerintahan Presiden Jokowi kita lihat cukup banyak catatan tentang itu.
Demi efisiensi dalam pengelolaan Negara, Pemerintah akan membersihkan pemerintahan ini dari TKD pada tahun 2023. Â Tahun-tahun sebelum final itu para Kepala Daerah diberi kesempatan untuk melakukan penyesuaian. Itu semua karena PP no.49/2018 tadi, pada pasal 96 menetapkan sebagai berikut : 1. Pejabat Pembina Kepegawaian ("PPK") dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. 2.Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK. 3.PPK dan pejabat lain yang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tapi masih ada tenaga kontrak musiman untuk proyek jangka pendek, Pekerja Antar Waktu Tertentu, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 35 Tahun 2021.
Di Kabupaten Manggarai Barat pada untuk tahun 2022 ini, Bupati Edi melakukan kewenangan menerapkan PP Â dengan "merumahkan" TKD itu. Tindakan itu jelas berdasarkan hukum yang berlaku seperti saya sebutkan di atas tadi. Sebab rasa-rasanya ia tidak mau terjebak lagi dalam jeratan hukum yang secara pribadi pernah dialaminya sewaktu aktif sebagai anggota DPRD Mabar pada masa lalu, supaya tidak terulang lagi sebagai napi 'kan? Atau supaya tidak masuk bui seperti pendahulunya 'kan? Mengapa saya berasumsi demikian? Â Karena secara psikis, ketika seseorang mengalami benturan pada jalur yang pernah dilalui, maka ia akan sangat hati-hati melewatinya lagi, dan ia punya nyali untuk lebih cepat tapi tetap cermat dalam perhitungan untuk keselamatan. Atau jika si pengendara yang pernah terdepan mengalami 'kecelakaan', maka pengendara di belakangnya sangat hati-hati mentaati rambu-rambu supaya tidak mengalami seperti dia yang pernah di depan itu.Â
Saya pahami hal ini ketika memperoleh satu pengalaman belum lama ini. Suatu ketika adik sepupu saya dan saya bareng naik kendaraan melalui jalur "neraka tanpa aspal" di wilayah Manggarai Barat. Dia nyetir. Laju kendaraan cukup ngebut supaya tepat waktu tiba di tempat tujuan. Â Saya was-was. "Selama nyetir mobil di Bali dan Jawa, apakah sudah pernah tabrakan?", ia tanya saya. "Puji Tuhan, belum pernah terjadi!" kata saya. "Oo.. berarti belum jago ! " reaksinya sambil ketawa. "Saya pernah nyetir mobil, tabrak pohon, bagian depan hancur berantakan. Ongkos perbaikan mahal. Tapi kakak saya malah bilang, 'esok kau nyetir mobil lagi, dan saya yakin kau akan save terus karena pengalaman ini membuatmu sangat hati-hati", lanjutnya. Â Adik sepupu saya itu betul. Saya resapi. Saya pikir bahwa hal demikian juga terjadi pada Bupati Edi, ya 'kan? Pingin cepat Mabar maju, tetapi tetap cermat untuk keselamatan diri maupun 'penumpang'.