Posisi Kasus
Sengketa tanah di Golo Mori sesungguhnya adalah klaim hak kepemilikan antar-sesama saudara warga kampung setempat.
Adapun keterlibatan orang dari luar kampung tersebut justru bukan pada masalah perdatanya, tetapi tindakan menguasai lahan.
Keadaan itu mengganggu kantibmas disana, dan dinilai justru telah membuat peristiwa hukum baru yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Dari informasi yang saya peroleh, ada segerombolan orang dari kampung Popo dan Dimpong (kabupaten lain) didatangkan untuk bekerja di tanah sengketa itu  alat yang mereka bawa adalah parang, dengan modusnya sebagai pekerja harian.
Kehadiran mereka justru membuat  keadaan kantibmas kampung Golo Mori berubah  mencekam. Ada rasa takut dan saling mawas diri menunggu kapan waktunya untuk saling serang dan saling bunuh.
Jika dikaji secara teliti dari sisi hak kepemilikan dan sengketanya, segerombolan orang itu bukanlah pemilik tanah, karena yang bersengketa adalah warga kampung yang tinggal di Golo Mori itu sendiri.
Modus mendatangkan orang dari luar kampung ini sering digunakan di Manggarai Raya sejak dulu. Tujuannya untuk berperang atau menakut-nakuti lawan.  "Pasang badan" agar pihak lawan mundur, bahkan siap bertarung  membunuh lawan.
Contoh Kasus
Ada banyak kasus dengan modus itu terjadi di Manggarai Raya bahkan di Manggarai Barat. Di Menjerite, Kab. Mabar, pada 5 (lima) tahun silam adalah contoh kasus yang nyata. Orang yang didatangkan dari kampung lain, dari Kabupaten tetangga, Manggarai, menjadi korban pembunuhan oleh masyakarat setempat. Â
Peristiwa semacam ini justru perlu penanganan yang cepat dan tepat. Pada kasus di Golo Mori, sana negara hadir untuk menyelamatkan masyakarat (Salus Populi Suprema Lex Esto) agar kasus-kasus serupa tidak terulang kembali di kabupaten Manggarai Barat ini.
Dampak dan Sikap Tegas Polisi
Warga kampung di Golo Mori saat itu tentu merasa terganggu dengan kehadiran segerombolan orang tersebut. Jumlah mereka 18 orang. Masing-masing pihak yang bersengketa saling berjaga-jaga, standy, sesekali bisa terjadi kematian.
Pihak yang satu sudah siap bertarung, pihak satunya lagi berada dalam ketakutan, bahkan siap melawan.
Bagaimana kalau polisi tidak hadir atau terlambat? Untuk itulah polisi hadir untuk melakukan pencegahan lebih dini sebelum ada korban luka atau paling buruk adalah mati sia-sia. Maka Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tepat untuk diterapkan pada situasi yang seperti ini.
Tidak Obyektif Dalam Menilai
Ketika Polisi hadir untuk mengamankan situasi ini, anehnya, ada pihak tertentu berteriak menggiring opini, 'Polisi salah, copot Kapolres, dan lain-lain". Satu sisi kita butuh penegakan hukum, dilain pihak kita tidak obyektif dalam menilai upaya penegakan hukum.
Saya kira ini kekeliruan  teman-teman dalam mengadvokasi sebuah masalah. Apa yang dilakukan Kapolres dan jajarannya itu adalah upaya yang tepat untuk menghindari timbulnya korban. Apalagi Jokowi telah menetapkan Labuan Bajo sebagai salah satu kota super premium yang saat ini sedang dibangun dan membutuhkankepastian hukum dan penegakan hukum yang serius.
Ingat, Golo Mori adalah salah satu target Jokowi untuk segera dibangun dalam waktu dekat untuk keperluan acara-acara kenegaraan. Salah satunya adalah acara G20 pada tahun 2023. Hal ini butuh kerjasama, butuh kekompakan, butuh investasi.
Semuanya harus di rencanakan secara matang tanpa ada hambatan dan/atau masalah. Kasus sengketa tanah yang serupa di Golo Mori tidak boleh terjadi lagi.
Â
Pupus Harapan
Saya mendapat kabar tentang penahanan dan hak hukum 21 orang itu telah ditangani oleh Penasehat Hukum. Pada kasus ini saya tidak melihat bagaimana penasehat hukum dari tersangka 21 orang itu memperjuangkan nasib mereka, karena energinya terkesan diarahkan untuk menyudutkan Polisi sebagai penegak hukum.
Ini justru semakin buram dan tidak jelas. Opini yang dibangun justru berpotensi sarat dengan kepentingan tertentu yang bukan kepentingan kliennya.
Beda orang, beda cara. Kita lihat saja hasil akhirnya.
Jalan Keluar/Solusi
Terhadap kasus seperti ini, komunikasi dan pendekatan itu penting, melalui apa yang disebut Restorative Justice, yaitu upaya mendamaikan  kedua belah yang bersengketa, upaya bagaimana segerombolan orang itu segera kembali kumpul bersama keluarganya di rumah.
Mumpung masih ada waktu yang cukup, maka yang paling mungkin diselesaikan lebih duu langkah Restorative Justice-nya. Cara ini menurut saya lebih mulia dan baik untuk sebuah kenyamanan hidup bersaudara ke depannya.
Terkecuali kalau itu tidak tercapai, maka  semua keputusan hukum wajib kita hormati dan kita taati.
Labuan Bajo, 08 September 2021
Penulis : Plasidus Asis Deornay, S.H., Advokat & Ketua Komodo Lawyers Club-Labuan Bajo. Manggarai Barat, NTT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H