LABUAN BAJO,- Sewaktu suatu ketika saya dalam perjalanan darat dari Bali ke Labuan Bajo, pernah ditegur Polantas. Kejadian itu di kota Mataram, pulau Lombok. Saya angkut barang-barang rumah tangga saya dengan sopir truck yang saya sewa. Saya mau pindah ke Labuan Bajo, pulang kampung. Pensiun.
Lawan Jalur
Saat itu kota Mataram sudah jauh berubah. Banyak jalanan kota sudah diperlebar. Rupanya seiring juga perubahan jalur. Turut berubah juga kondisi kota, jalan sejuk oleh pepohonan hijau di pinggir jalan. Beda dengan dulu, panas. Tampaknya kota Mataram dipersiapkan go internasional, terbukti bandaranya berkelas internasional. Kamipun nyasar berlawanan arus, pas di perempatan di tengah kota yang ada pos polisinya. Jalan itu lebar, tapi sepi kendaraan. Banyak polisinya di pos kontrol, sekitar 10an orang. Seorang polisi kasi aba-aba berhenti ketika belok ke arah yang salah, dan suruh mampir ke pos jaga. Sopirpun turun bersama saya. Surat dan SIM diperlihatkan. Lalu kami mohon maaf, karena kota ini jauh berubah dari tahun sebelumnya, lagi pula kecepatan truck kami sangat pelan dan hati-hati. Tidak terjadi kecelakaan.
Reaksi polisi di pos itu sangat bersahabat. Mereka tegur lisan. Bahkan dengan detail, ramah, menjelaskan jalur yang akan kami lewati selanjutnya hingga keluar dari kota menuju arah pelabuhan penyeberangan Ferry Lombok - Sumbawa. Kami berterimakasih. Tak ada lelet-lelet begini-begono dan tak ada tanda-tanda butuh uang pelicin. Tidak ada tilang. Dalam pikiran saya ada ini  'polisi kita ini sudah siap menghadapi perubahan Mataram sebagai destinasi pariwisata dunia. Kami merasa banget, bahwa polisi ini 'sahabat' rakyat, sesuai slogan di baliho-baliho mereka.
Di Labuan Bajo?
Saya belum pernah nyasar, karena kota ini kecil dan termasuk sepi. Tanda-tanda lalulitas cukup jelas, karena pohon hijau pinggir jalan yang seharusnya ditata supaya kota sejuk hampir tidak ada. Trafic light juga hanya beberapa. Meski misalnya salah arah, tapi nyaman karena kadang saat salah arah itu tak satupun kendaraan dari depan bahkan dari belakang. Nyawa nyaman. Karena sesungguhnya tanda larangan itu Negara bertujuan supaya rakyat pengguna jalan tidak mati atau mematikan orang lain dari arah berlawanan.
Kondisi kota yang belum ramai ini bagus sebagai waktu cukup untuk menata sebelum kendaraan hiruk pikuk, apalagi perubahan cepat karena menuju puncak sebagai destinasi pariwusata super premium.
Tapi hari ini ponakan saya dari Lembor, sopir cari uang di masa sulit masa pandemik ini, salah jalur. Angkut penumpang dari kota Labuan Bajo menuju Lembor. Di dalam mobil itu kakak ipar saya berumur 82thn sebagai salah satu penumpangnya. Jalan sepi. Satu polisi 'tilang'. STNK dan SIM dibawa oleh polisi itu ke kantor Polres Mabar. Perintahnya supaya sopir datang menemui dia di kantor Polres Mabar saat itu juga. Maka sopir ponakan saya inipun bersama penumpangnya menuju polres. Seisi mobil stress semua. Hal ini saya tahu ketika kakak ipar saya yang usia 82thn itu menelpon saya supaya dijemput di Polres untuk carikan otto lain pulang ke Lembor. Saya jadi gusar dan cepat tanggap. Kenapa? Saya kawatir ia stress di sana dan bisa-bisa drop mental sehatnya, fatal. Tapi sore tadi saya nelpon ponakan saya, ia sudah di Lembor. Urusannya sudah selesai, katanya. Saya berpikir bahwa semoga saja urusannya tadi selesai dengan 'versi sahabat'.
Usulan !!!
Saya usulkan agar petugas lantas menegur baik-baik, memberitahukan kemungkinan bahaya kepada 'sahabat'nya, dan memberitahukan supaya balik arah mengikuti jalur yang seharusnya ketika terjadi salah lawan arah.
Suruh sopir datang ke kantor polres itu ada 3(tiga) peluang yang dibaca pengguna jalan : Â pertama, tandatangan surat tilang untuk diproses hukum, dan kedua, ditegur biasa, dan ketiga, peluang 'disuntik'. Yang ketiga ini buruk sekali bro! Bahasa Manggarainya adalah 'Sial cukaminyak! ( sial astagafirullah).
Oknum polisi atau semua petugas negara seharusnya bersyukur kepada Tuhan karena penghasilannya diatur oleh Negara. Sedangkan sang sopir mengais rezeki tiap hari, antara dapat dan tidak. Bisa-bisa kelaparan karena uang hari ini tidak cukup untuk membeli makanan hari ini dan hari esok. Beda dengan sesama yang digaji Negara. Mengapa petugas Negara digaji oleh Negara ( rakyat)? Supaya leluasa melayani rakyatnya. Tanpa rakyat (publik), petugas Negara ini tidak bakalan ada. Dan.. tugas pelayanan itu mulia, diberkati Tuhan bila menjalankan sebaik-baiknya sesuai sumpah/janji saat diangkat sebagai Petugas Negara.
Di Mabar, NTT, rakyat cinta Polri dan TNI. Yah, sama di seluruh Indonesia. Jika ada oknum rakyat atau sekelimpok rakyat yang anti anda di sini, maka rakyat ada bersama anda bahkan menjadi terdepan untuk menumpasnya.
*** Salam, sambil NGOPI SAHABAT di Labuan Bajo, tanggal 14 Juli 2021.
Oleh : Jon Kadis, SH., (sekjen KLC Labuan Bajo & wiraswasta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H