Mohon tunggu...
klanting jingkrak
klanting jingkrak Mohon Tunggu... -

terkadang manusia terjebak dalm pertanyaan kenapa namun melupakan apa untuk merubah keadaan....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hujan ( part 1 )

4 Januari 2011   16:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

” pagi ini tak lagi sama, baru saja hari yang lalu aku bisa tersenyum lepas namun kini aku kembali terdiam lirih. Ingin sekali ku gapai apa yang ku inginkan saat ini. Bukan pada rumah mewah ataupun hidup yang glamor ini. Aku membutuhkan tenang dan bebas berjalan kemanapun aku suka. ”

Ara kembali menuju kedalam rumah. Ia masuk kedalam kamarnya. Ia cari handphone. Ia raih dan membaca pesan dari aska yang berisikan ucapan selamat pagi.

Ia nyalakan komputernya. Ia terduduk di atas meja komputer. Tangannya memainkan keyboard. Ia nikmati setiap tekanan yang ia berikan pada huruf-huruf yang ada di dalam keyborad.

Selamat pagi

Kini tak ada lagi sebuah senyum yang dapat kupandangi. Aku rasakan setiap detikku berjalan dengan lambat. Entah berapa kali aku harus merasakan hampa seperti ini. Belumlah cukup, seorang aku harus kembali merasakan sepi yang dalam ini. Kurasakan gelap kembali menyelimuti tubuhku. Sungguh aku merasakan siksa yang teramat sangat dengan keadaanku ini.

Kembali ku harus berpisah. Kembali, aku harus kembali kehilangan. Belumlah cukup hatiku untuk merasakan kesakitan?. Entah berapa banyak bait telah ku cipta. Ribuan detik kuharus memaksakan senyum yang membuatku harus bertopeng.

Udara yang kuhirup bagai sebuah pesan kematian yang semakin mendekat. Hatiku telah lama mati sebelum aku mengenal dirimu. Hatiku telah membeku lama sebelum engkau datang dan mencoba mencairkannya. Jujur, aku sangat menghargai kesabaranmu. Aku sangat menghargainya.

Tahukah engkau akan kesenanganku?. Tahukah engkau warna favoritku?. Tahukah engkau akan impian besarku?. Terimakasih engkau menuntunku dengan sabar. Memegangiku di saat rapuh menyelimuti diriku.

Namun apakah engkau tahu akan beban yang kubawa dalam hidupku. Tahukah engkau akan jerat norma yang membatasiku. Norma yang membuatku begitu terkungkung. Norma yang dengan gelap mata menikamku dalam terang maupun gelap. Norma yang mengatas namakan dirinya sebagai pedang tuhan dan menuskkannya pada tubuh rapuh ini. Terimakasih karna engkau membuatku kembali berani beranjak meski ku tahu diriku tidaklah beranjak sedikitpun.

ara lepaskan tangannya dari keyboard. Ia letakkan kedua tangannya ke atas kepalanya. Ia balikkan tubuhnya. Ia usapkan tanganya ke rambutnya.

******

widianto satria nugraha / klanting jingkrak, 22 desember 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun