Wanita paruh baya itu kembali menuju ruang tengah. Ara terdiam lama di depan kamarnya. Ia lempar jauh bola matanya menuju jendela kamar.
******
Mentari mulai beranjak dari tempat persembunyiannya. Gelap yang sekian lama menyelimuti kota ini mulai berganti. Sayup-sayup suara burung menyapa embun yang mulai mengering.
Ara masih tertidur lelap di kasur. Selimut yang ia kenakan tercecer ke lantai. Wanita paruh baya itu membenarkan selimut anaknya. Ia menatap dalam penuh kasih.
Ia buka gorden yang menutup kamar. Sinar mentari menerobos masuk tanpa penjagaan ketat. Menerpa langsung ketubuh ara. Ara pindahkan posisi tidurnya untuk menghindari sinar mentari langsung menyentuh kulit tubuhnya.
Wanita paruh baya itu berjalan keluar. Ia bisikkan ke telinga anaknya, ” selamat pagi sayang ”. Ara termenung, menatap wajah mamahnya. Ia merunduk, air matanya menetes perlahan mengalir melalui kedua pipinya.
Ia tertegun lama, matanya meneropong jauh menuju kenangan kekasihnya. Ia raih cermin yang tergeletak di dekat kasurnya. Ia menatap cermin dan merapikan rambutnya. Ia usap kedua belah pipinya.
Ia beranjak dari kamar menuju ruang tengah. Ia jumpai papahnya sedang membaca koran dan menonton televisi. Ia menatap pria yang rambutnya mulai di tumbuhi oleh uban itu.
Ia jumpai sebatang rokok menyala dan secangkir kopi hitam. Tak lama kemudian mamahnya datang membawakan cemilan. Aktifitas ini berlangsung sejak ara kecil. Ia sapa pria itu.
Pria itu tersenyum lalu kembali membaca korannya. Ara langkahkan kaki menuju halaman depan rumah. Ia pandangi rerumputan hijau yang di basahi embun. Ia menatap langit pagi yang cukup cerah.
Ia berjalan kepagar rumah, menyentuhnya dan bersandar. Ia hirup perlahan udara pagi yang begitu sejuk. Ia amati sekeliling rumah. Ia hembuskan nafasnya dengan perlahan.