Mohon tunggu...
Klandestin
Klandestin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Fenomena Sepak Bola Indonesia (Against Modern Football)

31 Mei 2016   08:32 Diperbarui: 31 Mei 2016   09:34 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption caption="Against Modern Football"] 

Beberapa pekan yang lalu kita di kejutkan oleh kisuhnya antar suporter dalam laga Torabika Soccer Championship (TSC) antara Persegres Gresik United melawan PS TNI, Minggu, 22 Mei 2016, di Stadion Tri Darma, Gresik. Tentu dalam hal ini Persegres yang sangat dirugikan. Secara fisik tentu PSTNI yang lebih unggul dan pihak keamanan tentu akan berpihak sebelah dalam kasus tersebut. Karena pada akhirnya tidak ada sanksi yang dijatuhkan pada oknum pengeroyokan dari pihak Suporter PSTNI.

Tidak dapat dipungkiri,dunia sepak  bola kita saat ini makin kacau. Mulai dari dihentikanya liga setelah pembekuan PSSI, hingga intervensi aparat negara. Hal ini  dibuktikan dengan keikutsertaan TNI dalam turnamen setelah berhasil mengakuisisi peserta Liga Super Indonesia, Persiram Raja Ampat. Perpindahan  kepemilikan senilai 17 milyar ini disponsori oleh PT Arka Gegana Magna. Seakan tak mau kalah, Surabaya United pun telah berganti nama menjadi Surabaya United Bhayangkara setelah merger dengan PS Polri. Apakah latar belakang hal tersebut bisa terjadi? Apakah mereka terlalu malas untuk merangkak dari nol sehingga mengakuisisi team yang telah sah menjadi peserta liga?

Bukankah hal ini membuktikan, bahwa tindakan tersebut tak beda dengan apa yang dilakukan oleh mafia bola lainnya yang dengan mudah mengatur skor dan jalanya pertandingan. Saya rasa mungkin hal tersebut tidak sepatutnya terjadi. Apakah hal ini karena ketidakbecusan PSSI dalam mengelola sepak bola kita? Atau aparat negara sudah merasa sepak bola adalah bahaya laten yang harus diwaspadai, sehingga mereka harus ikut serta dalam jalanya persepakbolaan kita? Saya tidak melarang TNI dan Polri bermain sepak bola, namun apakah tindakan mereka mengakuisisi sepak bola daerah itu perlu? Bukankah itu termasuk kudeta yang di lakukan secara halus?

Kalau di lihat dari dari subjek sepak bola itu sendiri, sepak bola adalah olahraga hiburan yang di minati oleh mayoritas masyarakat kita. Mulai dari mereka yang terlibat langsung, hingga supporter yang terhibur dan pedagang asongan yang mendapat untung dari jalanya pertandingan. Lalu peran negara dalam hal ini adalah memberikan fasilitas serta rasa aman agar pertandingan dapat berjalan mulus. Dalam hal ini tentu jelas bahwa sepak bola adalah milik masyarakat luas.

Tentu menarik jika kita mengulas sedikit buku  "Soccer VS State: Tackling Football And Radical Politics" karangan Gabriel Kuhn. Gabriel Kuhn adalah mantan pesepakbola semi profesional yang kemudian menjadi seorang intelektual anarkis Austria pada tahun 1990. Di buku tersebut dijelaskan bahwa sepak bola telah berubah menjadi industri milyaran dolar. 

Profesionalisme dan komersil telah mendominasi hiburan rakyat itu. Buku tersebut juga menjelaskan bahwa sepak bola tak luput dari agenda politik. Gabriel Kuhn pernah ikut  menyerukan "Against Modern Football".Yaitu Menolak sepak bola yang di kendalikan oleh kalangan menengah atas demi komersilisasi dan kepentingan suatu pihak. Lebih dari itu bahwa industri sepak bola pun merubah rasa saing alami menjadi persaingan industri yang tidak sehat.Lalu bagaimana pertandingan sepak bola sebaiknya diadakan? Idealnya adalah untuk kesenangan atau menciptakan sepak bola sebagai permainan saja bukan dikuasai oleh pihak tertentu.

Namun di saat para fans sepak bola demikian putus asa dengan pengaruh modal pada sepak bola, tumbuhnya klub-klub yang dikelola para fans menjadi bukti bahwa proses demokrasi secara langsung dan nirlaba dalam sepak bola ternyata bisa sukses. Seperti FC United of Manchester dan jargon terkenalnya adalah "I dont Have to sell My Soul". Dan yang tak kalah menarik, pada Piala Dunia 1998, Cowboys Easton dan Cowgirls bahkan menyelenggarakan turnamen ‘Piala Dunia’ tandingan. Momen tersebut hingga membuat Subcomandante Marcos salah satu seorang aktivis Zapatista. Marcos mengundang mereka dalam turnamen sepak bola yang mereka bentuk sendiri di Chiapas, Meksiko.Serta di dalam negri banyak pula ultras-ultas hasil pecahan supporter bola yang berhasil menghidupi team kesayanganya.

Maka dari itu sebaiknya tentara kembali ke barak dan tak perlu repot mengurusi hiburan rakyat. Kami para penikmat bola hanya ingin main dan menonton bola saja. Kami tidak peduli dengan kepentingan kalian. Hanya saja jangan rusak kesenangan sederhana kami dengan tontonan bola yang murahan seperti sekarang. Negara hanya sebagai fasilitator ketika pertandingan bola akan diadakan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun