Tidak perlu (terlalu) cerdas, bahkan tidak perlu seorang SBY untuk bisa membaca dan menilai langkah memindahkan Angelina Sondakh (AS) ke komisi III DPR yang membidangi urusan hukum, padahal AS sudah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.
Dikutip dari banyak media, beberapa pejabat teras Demokrat langsung menunjuk bahwa ketua FPD DPR adalah yang paling bertanggung-jawab atas pemindahan AS ini.
Disebutkan kebijakan pemindahan ini atas persetujuan dan kerjasama antara FPD + DPP.
Dalam benak saya, bentuk formal persetujuan dan kerjasama ini adalah surat perintah/rekomendasi pemindahan yang ditanda-tangani oleh, paling tidak masing2 ketua, sebagai bentuk persetujuan, mengetahui, sekaligus perintah kerja.
Jikapun tidak, paling tidak, masing2 ketua mendapat tembusan / copy / pemberitahuan, serta sudah memberikan persetujuan, baik verbal maupun tertulis.
Ketua FPD DPR adalah Jafar Hafsah, sementara ketua DPP adalah Anas Urbaningrum.
Demokrat terlihat sangat gugup, sekaligus terkesan panik menanggapi reaksi masyarakat atas kebijakan ini. Ditambah, pada waktu yang hampir bersamaan AS memberikan kesaksian di pengadilan, yang dinilai oleh banyak pihak, termasuk kolega separtai, menimbulkan banyak keraguan atas kebenaran jawaban AS.
Tidak juga biasa seorang SBY langsung mengintervensi kebijakan FPD + DPP pada level operasional, berkata "ini kebijakan tidak cerdas" dan minta segera dilakukan perubahan.
Simpang siur posisi AS di DPRpun masih berlangsung, Saan Mustofa, sekretaris FPD mengatakan AS tetap di komisi X, tempat lama dimana AS bertugas, sebelum dipindah ke komisi III.
Hal lain mengatakan bahwa AS sekarang dipindah-tugaskan pada komisi VIII.
AS memang sudah dilengserkan sebagai anggota badan anggaran (banggar) DPR, tetapi masih menikmati "privilege" sebagai anggota DPR.
Timbul kesan di masyarakat, dengan asas praduga tidak bersalah, AS masih dipercaya menjadi rekan sekerja, masih dipercaya sebagai anggota DPR bahkan diberi tanggung-jawab untuk duduk didalam komisi DPR.
Oleh karena AS masih berada dalam lingkup DPR, berarti harus diberi dukungan, bukan "dibuang dan dilawan" seperti halnya Nazaruddin (NZD).
Dalam kasus NZD, SBY menyampaikan bahwa beliau yang langsung memberi perintah pemberhentikan NZD.
NZD yang belum sempat "disekolahkan", menjadi bola liar bagi Demokrat yang sulit dikendalikan, apalagi NZD memegang, meski belum tentu valid, sedemikian banyak data internal partai, yang terus disajikan sebagai materi persidangan kasusnya.
Beda perlakukan antara AS dan NZD menimbulkan pertanyaan, apakah AS sudah sempat "disekolahkan" maka lebih bisa "diatur" ? kepentingan apa dan keterlibatan siapa yang berusaha ditutupi oleh AS ?
Namun tidak semua pejabat Demokrat berada dibelakang AS, paling tidak, Max Sopacua, Ruhut Sitompul serta Roy Suryo sudah memberikan tanggapan dan sanggahan atas kesaksian AS di pengadilan, yang malah memberatkan AS.
Hal ini juga bisa dilihat sebagai adanya kepentingan (faksi) lain didalam tubuh Demokrat, friksi antar faksi menjadi semakin tajam, berusaha saling menjatuhkan untuk alasan masing2.
Perjalanan kasus yang menyangkut AS dan NZD masih cukup panjang dan berliku, dan bukan tidak mungkin, ketika KPK benar berani dan mampu membuka kasus ini, maka akan ada banyak nama2 lain, baik sejawat partai, anggota DPR partai lain dan pejabat kementerian, yang akan dibawa serta masuk dalam pusaran kasus korupsi ini.
Apakah dengan makin melebarnya kasus ini bakal menjadi edisi terakhir si biru ??
Mungkin saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H