Mohon tunggu...
Mahasiswa KKN XV UNEJ
Mahasiswa KKN XV UNEJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mengunggah artikel mengenai desa lampeji

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mahasiswa KKN UNEJ Menengok UMKM Desa Lampeji yang Telah Tembus Pasar Ekspor

29 Januari 2023   19:57 Diperbarui: 20 Februari 2023   15:25 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Peji Mangar – Makrame merupakan sebuah kerajinan tangan atau kesenian membuat anyaman simpul yang berbahan dari kain ataupun tali. Asal kata makram secara etimologis sendiri berasal dari bahasa Arab "mucharam" yang berarti susunan kisi-kisi dan bahasa Turki "makrama" yang berarti rumbai-rumbai. 

Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, makram merupakan bentuk kerajinan simpul menyimpul dengan menggarap rantaian benang menjadi hasil tenun yang hasil akhirnya terbentuk berbagai macam rumbai dan jumbai. Makram sendiri disebarluaskan oleh para pedagang dari timur tengah terutama pelaut. Seni membuat simpul ini sudah lama populer dan digemari oleh para pelaut dalam mengisi waktu senggang karena lamanya perjalan laut. 

Meski sudah lama ada, macram sendiri mengalami peningkatan popularitas di Indonesia sejak tahun 1970-an yang mana menjadi bentuk kerajinan tangan yang trend dan digemari hingga saat ini.

Pada desa Lampeji sendiri, makram menjadi salah satu UMKM yang dirintis oleh ibu Meli Andani sejak tahun 2015. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh mahasiswa kelompok 15 KKN UNEJ, usaha makrame yang dijalankan oleh ibu Meli termasuk dalan jenis usaha perorangan. Jumlah pengrajin yang direkrut oleh ibu Meli kurang lebih berjumlah 30 orang. 

Barang-barang kerajinan makram yang dihasilkan dari UMKM ini beragam, mulai dari hiasan dinding, hiasan cermin, dream catcher, gantungan pot, gantungan kunci, dan lain sebagainya sesuai dari permintaan "supplier". Harga jual yang dipatok oleh ibu Meli sendiri berkisar antara 5 ribu rupiah hingga 2 juta rupiah tergantung dari tingkat kompleksnya pembuatan kerajinan itu sendiri dalam pemasaran hasil produksinya, ibu Meli masih menggunakan metode tradisional melalui jasa tengkulak.

Usaha ini sering kali mendapat demands hingga luar negeri melalui perantara supplier di Bali dan Jepara. Hasil kerajinan ini juga sudah sering kali di showcase kan difestival JFC (Jember Fashion Carnival). Hanya saja karena usaha ini masih menggunakan metode pemasaran yang terbilang cukup tradisional, usaha ini kurang menarik kostumer domestik selain kawasan Bali dan Jepara. Terutama, sejak munculnya "pandemi covid", usaha ini sedikit tersendat dikarenakan tidak adanya e-commerce.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun