Mohon tunggu...
KKNT UNESA NGANJUK 54
KKNT UNESA NGANJUK 54 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Surabaya

Mahasiswa KKN Tematik Unesa Tahun 2023 yang ditugaskan di Kampung Adat Desa Bajulan Kabupaten Nganjuk

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Makna dan Tujuan Rangkaian Upacara Hari Raya Nyepi Desa Adat Bajulan

14 Juni 2023   05:24 Diperbarui: 14 Juni 2023   09:23 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari raya nyepi merupakan hari suci umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Hari Nyepi jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang diyakini sebagai hari penyucian dewa-dewa di pusat samudra. Nyepi berasal dari kata "sepi" yang berarti sunyi atau senyap. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi yang identik dengan kemeriahan, Tahun Baru Saka dirayakan dalam keheningan. Pada hari Nyepi, umat Hindu akan berdiam di dalam rumah untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia) dan Bhuana Agung (alam semesta).

Hari raya nyepi dirayakan pada (23/03/23) oleh seluruh umat hindhu, tak terkecuali umat hindhu yang berada di Dukuh curik. Dukuh curik merupakan salah satu  wilayah yang terletak di desa bajulan, kecamatan loceret, kabupaten nganjuk. Dukuh curik juga ditetapkan sebagai desa adat karena mayoritas masyarakatnya memeluk Agama Hindu dan adanya Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis yang merupakan satu-satunya pura yang berada di wilayah nganjuk menjadi pusat kegiatan masyarakat yang menganut agama hindhu di wilayah nganjuk. Salah satunya pelaksanaan hari raya nyepi. Terdapat beberapa rangkaian acara yang dilakukan sebelum dan sesudah hari raya nyepi dilakukan.

Rangkaian upacara Hari Raya Nyepi dimulai dengan ritual upacara melasti. Melasti diartikan sebagai nganyudang malaning gumi ngamet tirta amertha yang berarti menghanyutkan atau membuang segala kotoran alam menggunakan air suci. Kotoran yang dimaksud adalah segala kotoran (dosa), baik dalam diri manusia (wan alit) maupun yang ada di dunia (wan agung). 

Melansir situs resmi Kabupaten Badung, Melasti dalam sumber Lontar Sunarigama dan Sanghyang Aji Swamandala yang dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno menyebutkan:


"Melasti ngarania ngiring prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana".


Artinya bahwa Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Maha Esa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam.

Upacara melasti di Dukuh curik sendiri dilaksanakan pada (19/03/23) tepatnya di pura Kerta Bhuwana Giri Wilis. Acara melasti ini dimulai dengan pengambilan air dari sumber roro kuning yang digunakan untuk pembersihan dan penyucian benda sakral milik pura serta pembersihan di depan pintu pura, dilanjutkan dengan pensthanaan di linggih (tempat) yang sudah tersedia, pembacaan doa-doa oleh Pandita, mekobok, persembahyangan bersama, dan diakhiri dengan menghaturkan banten Prani di sungai jolotundo. Adapun sesajen yang dibutuhkan dalam upacara Melasti yakni Banten Suci,Banten Peras, Banten Soda, Canang Lenge wangi Burat wangi, dan Canang Sari. 

Selain itu, ada juga hasil bumi dan hewan.

Setelah melakukan upacara Melasti, selanjutnya umat hindu akan melaksanakan Tawur Kesanga. Tawur kesanga dilaksanakan oleh masyarakat Dukuh curik pada (21/03/23). Dalam tawur Kesanga, masyarakat Dukuh curik melakukan pawai ogoh-ogoh Buta Kala yang diarak keliling desa atau kampung adat  yang berakhir dibakar dan dilenyapkan. Ogoh-ogoh Buta Kala menggambarkan sifat buruk manusia, sementara proses pembakaran merupakan salah satu cara menghilangkan sifat buruk tersebut. 

Pembakaran ogoh-ogoh ini dilakukan di simpang tujuh monument jendral Sudirman yang diyakini sebagai catus pata atau perempatan desa yang dianggap sebagai titik temu antar ruang dan waktu. pelaksanaan upacara ini bermakna untuk membayar atau mengembalikan sari-sari dari alam yang telah diambil oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari. Pengembalian kemudian dilakukan dengan upacara yang ditujukan kepada para Butha, agar mereka tidak mengganggu manusia di kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun