Pada hakikatnya tidak ada yang berbeda antara para difable dengan non difabel dalam hal naluri untuk memenuhi kebutuhan psikososial berumah tangga. Kondisi disabilitas yang mereka alami tidak sertta merta mneghapus kecenderungan alamiah untuk menyukai lawan jenis dan membina bahtera rumah tangga. Hanya saja, tidak semua orang berkesempatan untuk mewujudkan keinginan untuk menjalin hubungan sakral dalam ikatan perkawinan dan membina rumah tangga.
Islam sebagai sebuah Manhaj atau Way Of Life secara gamblang menyuratkan kebutuhan untuk saling melengkapi dalam ranah psikosial dalam bentuk rumah tangga sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur'an. Bahwa Rasulullah SAW menganjurkan para sahabatnya untuk menikah karena menikah juga merupakan salah satu bentuk ibadah.
Bagaimana relevansi penyandang cacat mental dengan undang-undang perkawinan nomer 1 tahun 1974?
Dalam kehidupan secara yuridis formil sebenarnya jaminan perlindungan bagi penyandang disabilitas telah diatur sebelum dientuknya Undang-Undang tentang HAM, yakni melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah Nomer 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.Â
Merujuk Undang-Undang No. 1 tahun 1974, penyandang disabilitas yang dibahasakan dengan istilah penyandang cacat diartikan sebagai setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.
Oleh sebab itu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa : "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa."Â
Kaitannya dengan pernikahan yang dilakukan oleh penderita cacat mental, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sendiri tidak menjumpai pembahasan spesifik tentang pernikahan penderita cacat mental.Â
Sehingga dapat dikatakan tidak ada masalah yang berkaitan dengan pernikahan tersebut, dan dapat disamakan dengan pernikahan orang-orang biasa, maka di perbolehkan menikah atas izin walinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI