Jember – Aksesoris dari manik-manik, entah itu gelang, kalung, maupun wujud aksesoris lainnya, kini kembali menjadi tren di kalangan kaum muda. Gaya fashion tahun 90-an hingga awal 2000-an ini muncul kembali ke permukaan dan menyebabkan naiknya frekuensi jual-beli aksesoris manik-manik di penjuru Indonesia hingga dunia. Meskipun sering dikaitkan dengan gaya anak muda, namun nyatanya aksesoris manik-manik juga cocok dipakai oleh siapa saja dari berbagai kalangan dengan perpaduan warna yang semakin menunjukkan ‘warna’ dari penggunanya.
Selasa, 13 Agustus 2024, peserta KKN Kolaboratif 3 Jember, posko 235 Kelurahan Karangrejo, Jember, melakukan kunjungan pada salah satu pengrajin aksesoris dari manik-manik di Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember. Betapa bersyukur dan senangnya teman-teman peserta KKN Kolaboratif 3 Jember, posko 235 Kelurahan Karangrejo, Jember bisa menyaksikan langsung proses pembuatan produk kerajinan dan berbincang dengan Pak Yudi, pemilik usaha kerajinan tangan tersebut yang telah mencapai kesuksesan internasional melalui ketekunan dan kerja kerasnya.
Pak Yudi, yang lahir dan besar di Jember, mengaku pernah merantau ke Yogyakarta pada masa mudanya, tepatnya di Jalan Malioboro, pada tahun 1997. Di sana, ia belajar membuat gelang manik-manik dan menyerap ilmu bisnis dari lingkungan sekitarnya. Meski tanpa latar belakang pendidikan formal, perkenalannya dengan seorang turis Perancis pada tahun 1998 membuka jalan baginya untuk memulai usaha produksi gelang berbahan kulit sapi pada masa itu.
Melihat potensi besar dalam kerajinan tangan yang diminati kaum wanita, mendorong Pak Yudi untuk terus berkarya. Produknya kini mencakup berbagai macam aksesori, dari gelang, kalung, hingga dreamcatcher dan gorden. “Sekarang produksinya kita itu bisa menghasilkan sejuta gelang per-2 bulan,” tutur pak Yudi saat kami temui di rumahnya yang berada di lingkungan Kalikotok RT 02/RW 09, kelurahan Karangrejo, kecamatan Sumbersari, kabupaten Jember. Setiap beberapa bulan, Pak Yudi merancang model baru dan mengajari para pengrajinnya yang kini mencapai puluhan orang dari berbagai kota di Jawa Timur.
Usahanya terus berkembang hingga kini telah memiliki lebih dari 1000 model aksesoris dan puluhan pengrajin dari dalam maupun luar kota di provinsi Jawa Timur. Dengan branding sebagai “Yudi Handycraft”, pak Yudi terus mengembangkan usahanya hingga ke manca negara. Ketekunan dan kerja keras Pak Yudi berbuah manis. Penjualan Yudi Handycraft tidak hanya berkembang di pasar lokal seperti Jakarta dan Bali, tetapi juga meluas ke mancanegara, termasuk Thailand, Perancis, Spanyol, Turki, dan Yunani. Harga produknya pun terjangkau, dengan gelang dijual antara 2.500 hingga 4.000 rupiah di Indonesia, dan 2 hingga 8 dolar di luar negeri.
Kerajinan tangan bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi seni yang tercipta dari proses panjang pemilihan bahan, perancangan desain, hingga penyelesaian akhir yang teliti. Keindahan ini tercipta dari kerja keras, ketekunan, dan kecintaan pada pekerjaan, yang menjadi dasar bagi pengrajin seperti Pak Yudi. Pengalaman berharga ini memberikan pelajaran bagi kami, peserta KKN, dan anak muda pada umumnya. Kisah Pak Yudi membuktikan bahwa pendidikan tidak hanya berasal dari sekolah, melainkan juga dari lingkungan sosial. Dengan kemauan dan kerja kerasnya, bahkan tanpa menamatkan 12 tahun pendidikan formalnya, Pak Yudi berhasil membangun bisnis yang sukses berkat ketekunan dan semangat belajar yang tinggi, serta menciptakan lapangan kerja untuk warga lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H