Mohon tunggu...
KKN UNEJ 87
KKN UNEJ 87 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Mahasiswa KKN UMD UNEJ Kelompok 87 Desa Glingseran, Kecamatan Wringin, Kabupaten Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

KKN UMD UNEJ Kel 87: Menelusuri Jejak Megalitikum Situs Cagar Budaya Glingseran Surganya Sarkofagus

10 Agustus 2023   14:07 Diperbarui: 19 Februari 2024   16:34 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Batu Gendang (Dok. Pribadi)

Desa Glingseran memiliki topografi di dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 400 m di atas permukaan laut dan luas wilayah 2.539.106 Ha. 

Potensi yang dimiliki Desa Glingseran sendiri yaitu panorama alam yang indah dan memiliki berbagai jenis batu megalitikum seperti sarkofagus, batu kenong, dolmen, batu pintu sehingga dikenal dengan Situs Cagar Budaya Glingseran.

Pada Sabtu (29/07/2023), kelompok KKN 87 Desa Glingseran bersama dengan kelompok KKN 90 Desa Wringin berkunjung ke Surganya Sarkofagus yang terletak di Desa Glingseran Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso, sekitar 29 kilometer dari arah barat laut kota Bondowoso. 

Menurut Jupel (Juru Pelihara) Cagar Budaya Glingseran Bapak Munir, sebanyak 70 situs purbakala yang terdiri dari 66 sarkofagus, 2 batu kenong, 2 batu pintu berada di Desa Glingseran. Inilah alasan mengapa situs cagar budaya Glingseran dinamakan Surganya Sarkofagus.

Sarkofagus atau tempat menyimpan jenazah merupakan benda pra sejarah yang biasanya digunakan sebagai keranda mayat atau peti mati. Batu ini memiliki bentuk seperti palung atau lesung dengan bentuk memanjang yang memiliki tutup dari batu.

Lokasi Situs Cagar Budaya Glingseran sebenarnya tak jauh dari situs menhir Banyuputih, hanya dipisahkan oleh dua desa. 

Pada situs ini terdapat sebuah peninggalan zaman pra sejarah, atau lebih tepatnya pada zaman batu megalitikum yang juga kerap dikenal zaman batu besar yang pada saat itu semua manusia membuat segala yang mereka butuhkan dengan batu.

Gambar: Batu Gendang (Dok. Pribadi)
Gambar: Batu Gendang (Dok. Pribadi)

Menurut informasi dari Pak Munir, terdapat batu sejenis ini di Rengganis. Akan tetapi, jarak gotong dari Rengganis ke sini menggunakan apa ketika zaman dahulu? 

Hal ini yang menjadi pertanyaan, padahal zaman dahulu teknologi belum canggih seperti saat ini. Ada yang menghubungkan dengan kesaktian, orang jaman dulu dianggap sakti, jadi cara gotongnya menggunakan ilmu-ilmu tertentu, sayangnya ada beberapa batu yang sudah pecah karena terkena petir.

Surganya Sarkofagus ini mulai dikelola pada tahun 1985. Sebelumnya dibiarkan, namun banyak masyarakat yang sudah mengerti bahwa di dalamnya terdapat harta karun. 

Maka banyak yang menggali, bahkan menggalinya terang-terangan pada siang hari. Pada saat Pak Munir menjabat sebagai Kepala Desa di Jatisari pernah ditemukan harta karun. 

Harta karun tersebut berisi emas, mahkota, pangkat kerajaan, keris dan payung dari emas. Zaman dahulu belum ada museum, harta karun tersebut diminta Kapolsek untuk diamankan. 

Setelah ditelusuri, ternyata harta karun tidak pernah sampai ke Bondowoso, sehingga masyarakat yang menggali harta karun tersebut ditelusuri oleh pihak Kapolsek.

Gambar: Batu Gendang (Dok. Pribadi)
Gambar: Batu Gendang (Dok. Pribadi)

Di bawah batu-batu sarkofagus tersebut terdapat lubang untuk memasukkan mayat, terdapat semacam bantalan yang memang sudah ditata sedemikian rupa. 

Mungkin di dalam lubang ini masih kosong, tidak ada tanah-tanahnya sehingga dapat menjadi ruangan tempat meletakkan mayat. Jadi, orang meninggal dimasukkan ke lubang itu, kemudian ditutup kembali dengan batu. 

Kalau ada orang yang baru meninggal, batunya dibuka lagi, lalu dimasukkan lagi. Kadang satu batu berisi lebih dari satu kepala, ada yang isinya empat atau lima. 

Salah satu batu tersebut, ada orang yang pernah menemukan kepala besar dimana fosilnya ada di Mpu Tantular. Orang zaman dulu, sengaja menggali untuk mencari harta karun, tetapi justru banyak yang menemukan fosil tengkorak manusia. 

Orang-orang tersebut menggalinya menggunakan linggis, tapi karena fosil tengkorak kepalanya keras maka tidak pecah saat terkena linggis.

Penelitian berbasis bukti pernah dilakukan oleh Direktorat Jakarta selama 5 hari, jadi batunya digeser, kebetulan batunya ini kecil tetapi masih utuh, ada tanahnya sedikit disitu namun ruangan di atasnya tidak ada tanahnya sehingga bisa dimasuki orang. 

Ditemukan adanya biji salak namun ukurannya besar, mungkin zaman dulu buah salak ukurannya besar-besar. Katanya orang-orang lokal, itu barang-barang halus, tidak sempat dibawa jadi dilupakan. 

Akan tetapi, oleh orang Direktorat Jakarta diteliti. Setelah selesai, batunya ditutup lagi. Pembuktian tersebut menggunakan batu yang belum pernah digali oleh orang-orang. 

Di kawasan ini, mungkin semua batu sudah pernah digali ketika zaman kolonial oleh orang Belanda untuk mencari harta karun.

Cagar Budaya Glingseran ini merupakan warisan budaya yang perlu dirawat dan dilestarikan yang akan berguna untuk pengembangan penelitian dan edukasi bagi masyarakat. 

Maka dari itu, sayang sekali jika para arkeolog atau murid sekolah yang berada di Kabupaten Bondowoso, namun tidak menyempatkan diri berkunjung menelusuri jejak megalitikum situs cagar budaya glingseran: surganya sarkofagus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun