Pendidikan dan pengajaran yang layak merupakan hak dari setiap insan yang lahir di bumi khatulistiwa, demikian yang tertulis dalam UU 23/2002 pasal 9 (1). Sangat disayangkan ketika pasal tersebut hanya mengenai mereka-mereka yang berada pada tempat dimana mata-mata manusia tertuju, namun tidak ditempat anak-anak negeri bersembunyi. Bukan berarti tidak ada upaya yang dilakukan pemangku kekuasaan untuk mengatasi masalah pendidikan ini.
Sudah banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah seperti KIP, beasiswa, bahkan sistem zonasi yang kerap dikomentari negatif oleh masyarakat pun merupakan upaya pemerataan kualitas pendidikan anak bangsa. Sebagai rakyat kita patut beryukur memiliki pemerintah yang perhatian pada pendidikan rakyatnya, namun menurut kami selaku tim KKN yang melihat fakta kualitas pendidikan dilapangan nampaknya perlu adanya kalibrasi ulang upaya pemerataan kualitas pendidikan. Kami menemukan sebuah SMP yang hanya memiliki kurang dari 20 murid, satu tenaga guru honorer, nan jauh dari kata maju.
Dusun Curah Laos, Desa Lampeji, Kecamatan Mumbulsari, Kabupaten Jember merupakan lokasi dari sekolah menengah pertama yang kami maksud. Papan tulis kapur, dinding retak yang cukup lebar, atap berlupang besar, serta kemampuan perkalian dasar yang masih tidak dikuasai sempurna oleh siswa kelas 8 cukup menjadi bukti akan ketertinggalannya. Pemilik sekolah, Bapak Sanhaji mengatakan bahwa kemampuan anak didiknya layaknya kembali ke 0 setelah diterpa badai covid selama 2 tahun. Memang tidak bisa dipungkiri nyawa jauh lebih berharga dari pendidikan, namun juga sangat disayangkan ketika mereka tidak disentuh oleh pendidikan selama 2 tahun yang mengakibatkan hilangnya ilmu ilmu yang selama ini didapat.
Anehnya, di Dusun lain terdapat sebuah SD negeri yang cukup baik dengan jumlah anak didik lebih dari 500, bangunannya pun bagus dan sudah dilengkapi aula dan perpus, tenaga pengajar banyak, serta sudah berada pada kekuasaan kepala sekolah yang sangat sadar terhadap kualitas pendidikan. Dua pemandangan ini membuat kami tim KKN bertanya-tanya, mengapa kesenjangan pendidikan bisa sejauh ini padahal kedua temat tersebut masih dibawah kepemimpinan kepala desa yang sama.
Sebenarnya kami pun sudah mengetahui beberapa penyebab dari keteritinggalan sekolah menengah pertama di dusun curah laos. Bapak sanhaji pun pernah menceritakan kepada kami bahwa kesadaran para orang tua siswa terhadap pendidikan yang rendah, tidak jarang juga ketika hari sekolah mereka tetap menyuruh anaknya pergi ladang. Tradisi bolos sekolahpun nampaknya sudah menjadi hal biasa, “hari sekarang masuk besok tidak” itu nampaknya bukanlah hal tercela lagi di sekolah tersebut. Tenaga pengajarpun hanya bisa memaklumi keadaan ini dan tetap bersyukur mereka masih mau untuk masuk ke sekolah. Doa kami dari tim KKN, semoga kalian menjadi orang baik dan sukses di dunia kalian masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H