Aku menggigit bibirku. Tanganku mulai berkeringat dingin. Aku tidak tahu harus bagaimana. Bau darah itu semakin menyengat.Â
"Gapapa lie...kita pasti bisa selamat kok" ucapnya sembari menggenggam tanganku. Meskipun Selia bilang begitu, aku bisa merasakan tangannya yang bergetar.
"Saya beri kalian waktu lima menit untuk menentukan tim, lebih dari itu yah kalian tahu sendiri akibatnya" lagi-lagi terdengar suara dari speaker itu.
"Kita tidak mempunyai banyak waktu. Karena jumlah kereta ada lima, masing-masing kereta berisi tiga orang kecuali kereta terakhir. Untuk pembagian tim terserah, saya akan berada di kereta satu siapa yang mau bersama saya?" Seorang laki-laki berkisaran umur 30-an itu membuka suara.
Singkatnya, aku akan menaiki kereta yang keempat bersama dua temanku. Yaitu Selia dan Gina. Sedangkan dua temanku yang lain, Lia dan Neli akan menaiki kereta terakhir.
Teng
"Waktu habis, silahkan menaiki kereta sesuai ketentuan".
Waktu berlalu hingga akhirnya giliran kami. Aku memasuki kereta dengan hati-hati. Kami mengucapkan perpisahan sebentar sebelum memasuki kereta. Kereta mulai bergerak melewati lorong yang gelap. Selama di kereta aku tidak bisa fokus, aku terpikirkan situasi-situasi yang mengerikan ketika sampai disana.Â
Titttt
"Timer akan dimulai sekarang" kalung yang menjerat leherku menampilkan waktu yang tersisa.
Hawa dingin menghembus wajahku. Kami menggenggam tangan satu sama lain. Pintu yang kami masuki tertutup. Cahaya disini sangat redup, sehingga kami harus berjalan perlahan sembari mengamati sekitar.Â
"AWAS!" untung saja aku sempat menarik tangan Gina. Muncul pisau dari kedua sisi dinding.Â
"Makasih lie maaf, aku harusnya lebih hati-hati" wajahnya terlihat sedikit pucat.
Kami lanjut berjalan menyusuri lorong hingga akhirnya sampai di tempat yang lebih luas. Terdapat pintu yang besar, sebuah ruangan, tangga, dan jalan yang menuju lurus kedepan. Disamping itu, aku melihat bayangan seseorang di balik tangga. Walaupun cahayanya redup, bisa terlihat itu adalah bayangan seorang pria dengan badan yang besar. Seingatku, tadi tidak ada pria dengan badan seperti itu. Mungkinkah itu penjaga? Untuk mengantisipasinya aku membisikkan kepada kedua temanku untuk berjalan dengan menunduk.
Meski berjalan dengan menunduk, aku bisa melihatnya. Pria berbadan besar itu menggunakan topeng dengan pistol di tangannya. Untung saja tadi kami tidak langsung jalan, bisa-bisa nyawa kami melayang. Kami memasuki ruangan yang sepertinya adalah gudang.Â
"Lie, na, sini deh" aku pergi menghampiri Selia yang sepertinya menemukan sesuatu.
Benar saja, Selia menemukan dua buah kunci.Â
"Wahh, Ayo coba buka pintu yang tadi" ucap Gina dengan semangat.
Sekali lagi aku memperingatkan mereka untuk tidak melakukan kontak mata dengan penjaga itu. Sesuai dugaanku, tidak mungkin segampang ini. Kuncinya terlalu kecil untuk membuka pintu tersebut. Kami kembali ke ruangan tadi untuk mencari petunjuk.
"Mungkin, kunci ini untuk membuka laci? Atau mungkin lemari? Coba kalian cari sesuatu yang mungkin bisa dibuka pake kunci ini" ucap Selia.
Setelah hampir setengah jam mencari, akhirnya kami menemukan sesuatu yang bisa dibuka menggunakan kunci itu. Sebuah kotak yang lumayan besar.
"Ck, sialan" ucap Selia setelah melihat isi kotak tersebut.Â
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H