Mohon tunggu...
Ky
Ky Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hai

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kucing Hitam

8 Februari 2024   20:35 Diperbarui: 8 Februari 2024   20:35 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang bilang kalau kucing hitam itu membawa sial atau mengundang hal mistis. Tapi ya aku ga percaya, kenapa mereka dijauhi cuma karena warnanya yang hitam? Bagiku semua kucing sama saja. Aku menemukan anak kucing berwarna hitam itu di depan rumahku. Awalnya aku hanya ingin memberinya makan karena dia terus mengeong kepadaku. Namun, karena langitnya yang semakin mendung dan gelap aku memutuskan untuk membawanya masuk.

Aku menamai anak kucing itu Mimi. Setelah memberikannya makan, aku pergi mandi dan meninggalkan mimi di ruang tamu. Hujan yang deras membuat hawa menjadi dingin. Aku memakan buah-buahan yang telah dipotong oleh ibuku sembari mengeringkan rambut dengan hair dryer. 

"Buu tadi Fira lihat kucing di depan rumah, boleh kan Fira rawat?" tanyaku dengan muka memelas.

"Iya, boleh kok" jawab ibu dengan singkat.

Setelah selesai mengeringkan rambut, aku pergi kembali ke ruang tamu untuk mengecek mimi. Aku tidak bisa menemukan mimi di ruang tamu, bahkan setelah berkali-kali mengecek. Mungkinkah dia pergi ke ruangan lain? Aku pergi ke ruang tengah untuk mengeceknya disana. Ada cairan berwarna merah seperti darah, apa tadi mimi terluka ya? Aku kurang memperhatikannya. Arah darah itu dan itu menuju ke lantai dua.

Bersamaan dengan suara petir, ruangan menjadi gelap yang membuatku tidak bisa melihat apa-apa. Aku mengambil senter yang berada di atas kulkas dan pergi ke lantai dua mengikuti kemana cairan merah itu. Sampailah aku di kamarku. Cairan itu mengarah ke bawah tempat tidurku. Aku menekuk kaki dan memiringkan badanku untuk menyorotkan senter.  Tertampang seorang badut yang membawa pisau bersama dengan mimi. Sontak aku melempar senter yang kupegang dan berlari menuruni tangga. Aku mencari keberadaan ibu tetapi hasilnya nihil. 

Listrik telah kembali menyala, terlihat badut itu sedang berjalan menuju ke arahku. Suara petir terdengar sekali lagi, kini badut itu hanya berada dua meter dariku. Dia melepaskan topengnya. Sosok yang dibalik topeng itu adalah sosok yang sudah kutunggu-tunggu dalam enam tahun terakhir. Perasaan takutku kini menghilang. Aku memeluknya dengan erat. 

"Kenapa ayah engga bilang kalo mau pulang..." ucapku sambil terisak.

Merah..bajuku berlumuran cairan berwarna merah. Sekali lagi aku harus menghadapi kenyataan bahwa ayah sudah meninggal dan sosok itu bukanlah ayahku. Melainkan, saudara kembarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun