Prosentase pangsa pasar alsintan atau perkakas pertanian impor mencapai 75 persen. Dominasi impor semakin kuat karena harga produk lebih murah dibanding lokal. Perbedaan harga ini terjadi karena produk impor mendapat berbagai insentif dan kemudahan pengadaan bahan baku oleh pemerintah di sana.
Pemerintah kita harus segera revitalisasi industri perkakas lokal yang jenisnya sangat banyak dan beragam. Produk perkakas impor menjadi penyebab punahnya usaha pandai besi di pedesaan yang dulu memproduksi aneka peralatan seperti sabit, cangkul, sekop, palu dan lain-lain.
Sangat menyedihkan melihat kondisi industri alsintan lokal. Baik yang tergolong BUMN seperti PT PT Boma Bisma Indra (BBI) hingga industri rakyat sektor logam dasar atau biasa disebut pande besi. Telah menghentikan produksinya karena kalah bersaing dengan produk alsintan impor.
Alsintan dibutuhkan di setiap kegiatan usaha pertanian dari sektor hulu sampai hilir. Setiap tahun ada kenaikan kebutuhan alsintani. Dan ironisnya potensi pasar ini sebagian besar dicaplok produk impor dari Tiongkok dan dari negara ASEAN. Alokasi belanja sektor pertanian yang mencapai Rp 4 triliun, sebesar 40 persen digunakan untuk pengadaan alsintan. Kue pembangunan yang cukup besar di atas selama ini menjadi bancakan para importir.
Saatnya membangkitkan daya saing dan kapabilitas industri alsintan lokal. Langkah pemerintah baru sebatas menaikkan bea masuk alsintan impor. Mestinya pemerintah juga membantu pengusaha lokal dengan menurunkan pajak impor bahan bakunya supaya harga produk lokal dapat bersaing. Karena hampir 50 persen biaya produksi alsintan tersebut untuk belanja bahan baku.
Inti masalah terpuruknya daya saing industri alsintan lokal sebenarnya sama dengan industri manufaktur yang lain. Semua bermula dari krisis bahan baku yakni ketersediaan logam dasar. Selain itu belum terjadi transformasi teknologi oleh produsen alsintan lokal. Sehingga mutu dan skala produksinya masih rendah.
Perusahaan alsintani lokal yang dikembangkan pada saat pemerintah orde baru untuk meningkatkan indeks pertanaman ternyata banyak yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan produk dari luar, utamanya pesaing terdekat yakni Thailand, Vietnam dan Tiongkok.
Pemerintah diharapkan tidak sebatas menaikkan bea masuk alat dan mesin pertanian impor. Melainkan dapat membantu pengusaha lokal dengan menurunkan pajak impor bahan bakunya supaya harga alsintani dalam negeri dapat bersaing dengan impor. Hampir 40 persen biaya produksi itu berasal dari bahan baku. Kisaran tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) alat dan mesin yang diproduksi sekitar 70 persen untuk traktor tangan dan 63 persen untuk hand sprayer, sedangkan traktor roda empat baru 12 persen.
Saat ini pangsa pasar alsintani impor di Indonesia mencapai 75 persen. Besarnya pasar yang diambil alsintani impor lantaran harga produk impor lebih murah 15 hingga 25 persen dari produk lokal. Perbedaan harga ini terjadi karena produk impor berasal dari bahan baku yang lebih efisien dan murah. Sedangkan produsen lokal masih sulit mencari bahan baku seperti besi dan aluminium paduan.
Saatnya pemerintah dan para inovator alsintan termasuk para startup builder di negeri ini merumuskan strategi mekanisasi pertanian di pedesaan sebagai sistem agribisnis yang relevan dengan pasar komoditas. Yakni sistem yang terpadu dari hulu ke hilir, mulai dari penyediaan sarana produksi, proses budidaya, aktivitas pasca panen, hingga pemasaran yang efektif dalam sistem informasi online dengan pasar komoditas dan pasar induk.
Demikian surat terbuka untuk para Capres dan Cawapres yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2024.