"Fatima, jangan bertanya-tanya dengan keadaan yang sudah terjadi di hadapanmu. Kamu tidak bisa memberikan cucu untuk Bu Dera, bahkan kamu juga pergi ke luar negeri di saat Hans terpuruk. Ayah malu dengan Bu Dera, karena menikahkan kamu yang tidak bisa membahagiakan Hans sebagai putra tunggal Bu Dera," jelas sang ayah panjang.
Begitu getir pernyataan dari ayahnya. Sehingga Fatima menoleh ke arah suaminya. "Mas, kamu juga seharusnya menolak."
Dera mendekati Fatima dengan tatapan dingin. "Kamu tidak pernah cukup baik untuk Hans. Kamu bahkan tidak bisa memberinya anak. Lima tahun menunggu adalah waktu yang cukup lama. Sekarang Hans sudah memiliki istri yang benar-benar pantas untuknya dan memberikan kebahagiaan untuk kami."
Cika, adik Hans, juga turut menghina. "Sudah waktunya kamu sadar, Fatima. Kamu tidak pernah cocok untuk keluarga ini. Bahkan kamu memilih pergi ke luar negeri di saat keadaan ek0nom1 terpuruk."
Fatima merasakan setiap kata sebagai pukulan. Ia memandang Hans dengan pandangan yang penuh luka. "Aku pergi untuk bekerja keras demi keluarga kita, demi masa depan kita. Dan ini balasanmu?"
Hans mencoba meraih tangan Fatima ketika celaan didapatnya, tapi Fatima menghempaskannya. "Jangan sentuh aku! Kamu mengkhianati cintaku, mengkhianati pengorbananku Mas!"
Fatima berbalik, berusaha untuk menahan tangisnya. Ia tidak bisa lagi melihat wajah orang-orang yang telah mengkhianatinya. Ia merasa terjebak dalam mimpi buruk yang nyata.
Saat Fatima berjalan menuju pintu, Hans berteriak, "Fatima, tunggu!"
Fatima berhenti sejenak, berharap ada kata-kata yang bisa memperbaiki segalanya.
Namun, ketika dia menoleh, dia hanya melihat wajah penuh rasa bersalah di antara sorak-sorai kebahagiaan palsu dari keluarganya.
"Dengar, Fatima," kata Hans dengan suara penuh putus asa, "Aku tidak punya pilihan. Mereka memaksaku. Aku masih mencintaimu dan tidak ingin kita berpisah. Tolong mengerti."