Perjalanan dari Ijen ke Desa Jampit dapat ditempuh selama 1,5 jam dengan mobil pribadi. Jalur yang dilalui berkelok-kelok dan berbatu-batu sehingga perut teraduk mual, punggung remuk dan pantat pun sakit. Tapi jangan menyerah dulu karena sesampainya di Jampit, semuanya terbayar lunas bahkan berlipat-lipat bunganya.
Dikarenakan ini adalah perjalanan melodi memori maka setibanya di sana kami menginap di rumah Pak Hermanto yang dulu adalah Kepala Kampung dan telah menjamu rombongan Mapala UI dengan sangat baik. Sejak kunjungan di tahun 2004, ternyata beberapa teman silih berganti kembali mendatangi Jampit untuk berlibur, mengajak teman baru dan bersilaturahmi dengan keluarga Pak Hermanto. Wah, ternyata benar saya tidak subjektif. Ada banyak teman serupa yang merekam Jampit sebagai kenangan indah dan harus dikunjungi kembali.
Sambil mengobrol, anak perempuan Pak Herman mengantarkan kopi. “Waaah, kopi jampit ya, bu? Ini dia yang ditunggu-tunggu,” ujar saya sambil beranjak mengambil gelas kopi. Yah, ternyata, itu hanya kopi hitam biasa. Dari obrolan dengan bapak dan ibu, kami dikabari bahwa kebun paprika dan kebun kopi sudah tidak ada lagi di desa. Mendengarnya saya sedikit kecewa dan kembali meletakkan gelas kopi. Bayangan memetik paprika besar-besar berwarna reggae alias merah kuning hijau dan menyeruput kopi yang maknyus buyar usai mendengar cerita ibu.
Bermelodi-memori di Desa
Setelah berbincang dengan bapak dan ibu, kami pamit untuk jalan-jalan sore di seputar desa. Tak sabar saya melangkahkan kaki ke tempat-tempat kenangan saya ketika masih menjadi calon anggota organisasi pecinta alam tertua di Indonesia. Sepanjang mata memandang sebagian besar suasana desa ini masih sama. Setiap tanah yang kami injak adalah tanah gembur. Kesuburan tanah di sini tentu dikarenakan letaknya yang berada di kaki gunung vulkanik sehingga setiap benih yang ditebar akan tumbuh subur secara alami.
Sore itu matahari menyinari hangat kebun bunga, kebun strawberry, apotik hidup, pohon pinus dan cemara. Semilir angin sejuk dari arah gunung membuat mereka melambai-lambai seakan-akan menyambut kedatangan kami kembali. Diiringi keindahan warna warni kebun dan sejuknya udah pegunungan dan kadang tercium semerbak belerang, kami terus melangkah menuju padang savana.
[caption id="attachment_201779" align="aligncenter" width="640" caption="Aneka bunga warna-warni (Dok. Gerald P.S)"]
Dalam perjalanan, langkah kami sempat terhenti dan terkesima melihat Guest House Jampit. Sebuah penginapan yang seolah membuat kehidupan kehilangan dimensi waktu dan kembali ke Jaman Belanda. Bangunan indah ini berdiri dikelilingi taman penuh bunga krisan, aster, anyelir, lili, gladiol dan aneka bunga lain yang asing bagi saya. Penginapan Jampit terkenal khususnya di kalangan wisatawan asing. Kehidupan kaki Gunung Ijen yang unik tidak mengenal kalangan, terbukti orang dari jauh pun rela berdatangan kesini untuk menikmatinya.
[caption id="attachment_201780" align="aligncenter" width="640" caption="Guest House Jampit (Dok. Gerald PS)"]
Sekitar 20 menit berjalan kami menemukan savana yang saya impi-impikan untuk saya injak kembali. Di bawah langit yang bersinar kekuningan, padang rumput itu masih sepi dan membius. Beberapa ekor sapi dan kuda dengan tenang asyik merumput di atasnya. Sementara yang lain mengambil gambar, saya mengulang memori masa lalu saat saya melintasi padang itu sambil berpunuk dan berkaki bengkak. Kali ini saya meloncat, berlari bahkan menjejak lebih bebas dari rombongan kambing-kambing yang sedang diangon ibu gembala di depan saya untuk pulang ke kandangnya.
Tidak puas hanya di padang, kami trekking ke atas bukit melewati gerumbulan semak dan ilalang agar bisa melihat keelokan lansekap 360 derajat dari atas. Hijau dan damai yang kami temukan. Sesekali saya mematung, merenung, dan tersadar untuk segera mengabadikan kemegahan savana Jampit sebelum senja malu-malu pamit undur diri.