Menjadi orangtua di jaman internet sudah nancep di handphone rasanya tidak lagi mudah. Bagi orangtua yang anaknya sudah bisa menggunakan gawai, beberapa tips proteksi mulai dijalankan. Entah sekedar dengan mengaktifkan setelan keamanan, atau yang paling ekstrim, melarang sang anak bersentuhan dengan gawai sepenuhnya.
Sementara bagi orangtua, terutama ibu muda, yang anaknya masih bayi owek-owek, bersentuhan dengan gawai justru bisa bikin setengah gila. Bagaimana tidak? Lha wong setiap buka sosmed, meme dan artikel tentang bagaimana menjadi orangtua yang sempurna bertebaran di udara maya. Walaupun meme dan artikel itu tidak pernah kita minta buat muncul di newsfeed, media-media sosial itu sudah memegang database kita, para pengguna media. Bahasa kerennya bubble effects.
Maka yang terjadi sesudahnya adalah standarisasi. Idealisasi. Kalau ingin menggendong bayi dengan nyaman harus dengan gendongan macam ini. Kalau ingin bayi kita bebas trauma, lahirnya harus demikian. Kalau ingin anak kita sehat, minumnya harus seperti itu. Kalau ingin perut segera rata setelah melahirkan, lakukan gerakan ini berapa puluh kali. Lalu ada yang setuju, ada yang tidak, adapula yang tak peduli. Jika ketiga jenis netizen itu sama-sama berkomentar di kolom komentar, yang (kurang kerjaan) membaca komentar-komentar itu akan makin runyam pikirannya. Di dunia maya. Itu masih di dunia maya lho tatarannya.
Lalu ketika gawai kita letakkan dan kepala kita dongakkan, perkara parenting tak lagi semudah jaman ibu saya masih menggendong adik saya yang paling bontot. Parenting jaman itu, urusannya hanya mengantar anak imunisasi tepat waktu, membuat nasi tumpeng urap setiap jatuh tanggal ulangtahun anaknya di lima tahun pertama dan sesekali mengajak anak-anaknya pergi beli buku cerita setiap libur sekolah tiba. Makin tebal bukunya, makin lama bacanya, makin tenanglah ibu saya. Tak perlulah repot memikirkan akankah datang ke kelas parenting di hotel ini atau perlukah datang diskusi parenting di gedung itu. Lha wong jaman itu istilah parenting saja belum ada.
Namun dalam cermat saya, bombardir urusan parenting di media sosial dewasa ini memberi dampak positif yang cukup besar, salah satunya: meningkatnya peran ayah dalam mengasuh anak. Informasi yang mengalir sejak dini, bahkan saat sang jabang bayi masih dalam kandungan, dengan mudah dibagi dan dibaca bersama oleh calon ayah dan ibu baru. Muncul pula beragam komunitas parenting yang justru anggotanya didominasi oleh bapak-bapak muda. Seperti ayahasi.org, komunitas berbagi yang didominasi para ayah yang mendukung istri-istrinya untuk memberikan ASI.
Ketika seorang ayah sudah begitu peduli sejak dini, membagi peran dalam pengasuhan anak bukan lagi perkara sulit. Ketika seorang ayah telah memahami dinamika ibu yang melahirkan dan menyusui, tugas-tugas lain diluar tubuh ibu pun bisa menjadi domain bersama. Seperti yang saya alami bersama suami. Komitmen kami untuk memberi ASI eksklusif, membuat saya sangat lahap dan rakus untuk urusan makan. Terutama di 6 bulan pertama usia anak kami. Jadi sementara saya makan telap-telep, lalu suami saya sibuk menggendong dan mengganti popok adalah pemandangan yang cukup lumrah kala itu.
Banyak keahlian yang mendadak kami kuasai bersama. Mulai dari menggendong bayi dengan selendang, ndulang sambil naik matic, belanja kain di pasar sambil bawa balita sampai meladeni anak kami pup di toilet mana saja. Bahkan untuk urusan tatur, suami saya juaranya. Karena sudah menjadi niat kami untuk mengajarkan toilet training sejak dini, maka anak kami sudah lepas popok sejak berusia 9 bulan. Akibatnya, kami harus lincah dan sigap mencari toilet begitu si bayi ngoceh “pup, pup” dengan ekspresi serius. Tapi seringnya, suami saya yang bergerak lincah untuk urusan ini.
Awal kesepakatan yang saya ajukan sebenarnya sederhana: Saya yang mengatur ‘pemasukan’ asupan gizi ke dalam pencernaan si kecil, sementara suami saya yang mengurus ‘pengeluaran’nya. Kesulitan terbesar yang ia alami adalah ketika harus berhadapan dengan toilet jongkok. Namun segala kesulitan itu berbuah manis. Anak kami tidak lagi pipis dan pup sembarangan. Hanya saja, sejak kami hijrah ke desa, anak saya gemar sekali pipis di dekat pohon. “Biar pohonnya cepat besar” begitu kilahnya.
Boleh dibilang, semua kesuksesan kami dalam urusan pengasuhan anak, adalah karena peran suami saya yang sangat besar. Kelincahannya membagi waktu dan pikiran terasah tajam sejak anak kami lahir. Bahkan ia kerap membanjiri saya dengan kemewahan berupa waktu luang. Bayangkan, saya bisa ikut yoga, les tari Jawa, belajar gitar lewat youtube hingga menulis. Hampir semuanya secara rutin kecuali yang terakhir. Beruntung sekali bukan?
Tentu saja bidang pekerjaan yang kami geluti sangat memungkinkan untuk berbagi waktu pengasuhan. Namun jika salah satu orangtua bekerja di jam-jam kantor, bukan berarti berbagi pengasuhan tak dapat dilakukan. Tak sedikit kawan dalam lingkaran pertemanan kami yang berhasil melakukannya. Kuncinya adalah ‘mendampingi’ dengan sepenuh hati. Tak ada bedanya juga jika kita tinggal di rumah bersama anak namun pada prakteknya waktu kita habis untuk memelototi dan mengelus gawai. ‘Mendampingi’ dalam konteks ini tidak serumit yang kita bayangkan. Cukup dengan, misalnya, mendengarkan celoteh anak saat ia bermain, lalu menanggapi imajinasinya dengan imajinasi kita.
Tentu saja model pengasuhan ayah dan ibu berbeda. Dalam waktu pengasuhan ibu, seorang anak dijamin kenyang, bersih dan jauh dari bahaya. Sementara dalam waktu pengasuhan ayah, anak akan lebih berani, playfull dan mandiri. Perpaduan keduanya, semoga, bisa menciptakan generasi bangsa yang lebih bijaksana. Jadi, pak, bu, mari berbagi peran, laksana sepasang sayap yang membawa sang burung melesat terbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H