Mendidik dengan kekerasan tak lantas membuat anak menjadi lebih disiplin dan patuh, namun justru membentuk perilaku buruk di dalam diri si anak.
Sebagai orang dewasa kita kerap merasa lebih paham tentang apa pun dibandingkan anak-anak. Sebagai orang tua, paman, kakak, maupun guru selalu merasa lebih mengerti dengan yang lebih muda, terlebih terhadap anak-anak.
Hal ini tidak selalu salah, karena toh nyatanya, yang lebih tua memang lebih punya banyak pengalaman. Lebih dulu mengerti tentang seluk beluk kehidupan dunia. Dan tentunya lebih dulu mengenyam berbagai jenjang pendidikan.
Hanya saja, itu tidak kemudian membuat kita perlu merasa selalu lebih superior sehingga merasa punya hak untuk memarahi jika anak melakukan kesalahan. Anak berbuat salah lebih banyak karena dia tidak tahu tentang apa yang dia lakukan dan tidak berpikir panjang terkait dengan konsekuensi dengan apa yang dilakukan.
Itu semua karena anak belum punya pengalaman yang banyak. Belum semua hal yang baik telah kita ajarkan kepada mereka.
Mendidik dengan melakukan kekerasan tentu tidak semestinya dianjurkan. Karena bisa jadi, bukannya anak jadi lebih disiplin dan patuh, namun justru membentuk perilaku buruk di dalam diri si anak.
Kekerasan yang kerap dilakukan oleh orang dewasa kepada anak bisa kekerasan fisik maupun verbal. Memarahi anak dengan suara keras, bahkan hingga mengucap kata-kata kotor jelas bukan sesuatu yang bijak untuk dilakukan.
Teriakan kemarahan selain menimbulkan trauma pada si anak juga membuat mereka suatu ketika akan menantang balik. Dia terbiasa untuk menerima bentakan sehingga sangat mungkin dia meniru untuk balik membentak atau memarahi temannya, atau anaknya kelak dengan cara yang sama.
Hal ini sama dengan mendidik melalui cara-cara kekerasan fisik, seperti mencubit, menampar, memukul, dan lain sebagainya. Anak akan dengan mudah meniru apa yang kita lakukan.
Jika pun kedua hal tersebut dinilai efektif untuk membentuk kedisiplinan si anak, bukan kedisiplinan yang tumbuh dari kesadaran hati si anak tapi lebih banyak karena ketakutan.
Si anak bersedia untuk mandi tepat waktu, pulang bermain sebelum larut, atau makan sampai habis bukan karena mereka menyadari dampak buruk dari tidak disiplin atau manfaat baik untuk dirinya, melainkan karena takut dimarahi, takut untuk dipukul.
Sebagai orang dewasa kita agaknya harus mulai menyadari hal tersebut. Untuk apa? Tentu untuk adik-adik dan anak-anak kita agar mereka bisa tumbuh dengan lebih baik. Menjadi pribadi penyabar, bukan yang emosional.
Ketika kita menyalahkan televisi karena memberi pengaruh buruk pada anak, seperti adegan perkelahian atau bertengkar, marilah kita berkaca, apakah kita sudah tidak melakukan kekerasan verbal dan fisik di rumah atau sekolah?
Laporan UNICEF tahun 2014 menyatakan bahwa 80% orang tua di seluruh dunia melakukan pemukulan sebagai cara untuk mendisiplinkan anak. Dan para peneliti menyebut bahwa pemukulan lebih banyak memberi dampat negatif dibanding positif.
Bisa jadi, anak-anak yang melakukan kekerasan dan kerap bertengkar dengan temannya bukan karena adegan sinetron di televisi seperti yang banyak kita tuduhkan, melainkan akibat meniru perilaku buruk kita.
Tidak ada salahnya untuk memulai hari ini dengan meminta maaf kepada anak-anak yang kiranya pernah kita marahi, lalu memberi mereka pemahaman tentang pentingnya mengendalikan emosi agar tidak menyebabkan hal-hal buruk terjadi.
Tenru ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan, tapi sangat mungkin untuk mulai kita terapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H