Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Membela Palestina, Menista Rohingya

10 Desember 2023   13:43 Diperbarui: 10 Desember 2023   13:45 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Palestina yang mengantre roti dan Pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia. (Foto kiri: Mahmud Hams/AFP | Foto kanan: Amanda Jufrian/AFP.)

Manusia Perahu. Demikian predikat yang disematkan oleh dunia kepada pengungsi Rohingya. Terminologi itu tentu tidak lahir dari ruang hampa. Kaum eksil itu dikenal dengan sebutan demikian lantaran upaya mereka untuk melarikan diri dari Myanmar dengan menggunakan perahu-perahu kayu ala kadarnya.

Perjalanan eksodus yang sangat berisiko ini kerapkali dilakukan dengan kondisi yang tak layak. Mereka menggantungkan hidupnya di atas perahu atau kapal kayu yang amat rapuh untuk melintasi arus lautan yang berbahaya. Negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia menjadi destinasi mereka dalam mencari suaka.

Sejak pemerintah Myanmar menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun 1982, jutaan populasi etnis Rohingya seketika kehilangan kewarganegaraannya (stateless). Dasar konstitusi itu menghapus status etnis Rohingya sebagai "ras nasional" yang akhirnya memaksa mereka hidup tanpa hak-hak dasar di negara bagian termiskin Myanmar, Rakhine.

Setelah mengalami rangkaian diskriminasi sistematis, persekusi, dan sejumlah insiden pelanggaran HAM berat yang mencapai puncaknya pada tahun 2017, mayoritas etnis Rohingya terpaksa mengungsi dari tempat tinggal mereka. Sebagian kecil dari mereka melarikan diri ke wilayah Indonesia.

Krisis pengungsi Rohingya adalah situasi kompleks yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Seringkali, tatkala tiba di negara-negara penerima suaka, mereka tak memiliki status hukum yang jelas sebagai pengungsi. Akibatnya, mereka pun terpaksa hidup dalam kondisi yang sangat rentan di negeri asing tempat mereka bernaung.

Selain dihadapkan pada status hukum yang abu-abu, terbatasnya akses pendidikan dan layanan kesehatan, serta kesulitan dalam mencari pekerjaan layak adalah sejumlah tantangan yang juga harus mereka hadapi.

Nahasnya, penderitaan mereka tidak berhenti sampai di situ saja. Banyak dari masyarakat di negara tujuan suaka yang menolak eksistensi mereka. Indonesia adalah salah satunya.

Masyarakat setempat menuding pengungsi etnis Rohingya kerap membuat masalah, seperti kabur dari penampungan, mengeluh ketika diberi makanan, serta terlibat kasus pelecehan.

Penolakan yang sama juga ditunjukkan oleh netizen di media sosial. Alih-alih mendorong pemerintah agar segera menemukan solusi, mereka justru melontarkan cercaan yang tak pantas didapatkan oleh orang-orang yang sudah sangat menderita.

Lantas, mengapa netizen Indonesia yang budiman, memiliki urgensi yang begitu kuat untuk membantu dan mendukung Palestina, tetapi terkesan antipati terhadap kehadiran pengungsi Rohingya di Tanah Air?

1. Konteks Sejarah dan Identitas Politik

Dukungan masyarakat Indonesia terhadap perjuangan Palestina dapat dikaitkan dengan identitas politik dan sejarah bangsa Indonesia yang memiliki relasi kuat dengan perjuangan melawan kolonialisme. Prinsip itu bahkan termaktub dalam UUD 1945 sebagai sumber supremasi hukum di NKRI.

Di sisi lain, kendati sama-sama muslim, masyarakat Indonesia tak merasa memiliki keterkaitan dan kesamaan nasib dengan pengungsi Rohingya. Pemahaman itu turut memupuk sikap antipati netizen Tanah Air terhadap Manusia Perahu. Padahal, kondisi mereka sejatinya tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh rakyat Palestina.

2. Pemberitaan Negatif dan Hoaks

Belakangan ini, berbagai kanal media sosial banyak dibanjiri oleh pemberitaan yang tidak akurat, sensasional, atau bersifat provokatif mengenai pengungsi Rohingya di Indonesia. 

Sebuah video demonstrasi yang diinisiasi oleh komunitas etnis Rohingya di Malaysia sempat beredar, yang diklaim bahwa aksi itu dilakukan untuk menuntut tanah kepada pemerintah Negeri Jiran. Usai dikonfirmasi, ternyata aksi yang mereka lakukan bukan untuk meminta tanah, melainkan aksi protes terhadap kekejaman pemerintah Myanmar.

Sejurus kemudian. Sebuah akun palsu yang mengatasnamakan badan milik PBB yang mengurusi masalah pengungsi (UNHCR) menyebut bahwa para pengungsi Rohingya menuntut untuk diberikan tempat tinggal, makanan, dan KTP Indonesia.

Sontak, netizen pun bereaksi keras atas klaim tidak berdasar tersebut. Hoaks itu menyebar bak virus yang kian memperburuk sentimen negatif dan kebencian masyarakat terhadap kehadiran pengungsi Rohingya di Indonesia. Hal itu juga menciptakan stigma negatif yang akhirnya akan mempersulit proses integrasi mereka ke dalam masyarakat lokal.

3. Konflik Sosial

Oleh netizen, eksodus pengungsi Rohingya ini bahkan dikait-kaitkan dengan penjajahan yang dilakukan Israel di Palestina. Mereka memiliki ketakutan yang berlebihan bahwa suatu saat komunitas etnis Rohingya bakal merampas mata pencaharian serta tempat tinggal mereka.

Kekhawatiran absurd ini bisa dipahami dari perspektif aspek sosiologis. Menurut Georg Simmel, konflik sosial merupakan hasil dari interaksi antaraindividu atau kelompok yang memiliki ketidaksepakatan atau perbedaan kepentingan, nilai, atau tujuan.

Konflik sosial juga mungkin terjadi karena adanya persaingan atas sumber daya yang terbatas di antara kelompok yang berbeda.

Dalam konteks ini, netizen Indonesia merasa khawatir karena adanya kepercayaan bahwa kehadiran pengungsi etnis Rohingya akan memicu persaingan yang lebih ketat atas penguasaan sumber daya terbatas, seperti tempat tinggal dan pekerjaan.

Mereka menyamakan pengungsi Rohingya dengan apa yang dilakukan oleh pengungsi Yahudi sebelum mendirikan negara secara ilegal di atas tanah milik bangsa Palestina.

Penting untuk dicatat bahwa kekhawatiran tersebut tidak selalu didasarkan pada realitas, melainkan lebih pada persepsi atau ketakutan akan perubahan yang mungkin akan terjadi.

Menurut laporan resmi UNHCR, sejatinya pengungsi Rohingya masih sangat berharap bisa kembali ke Myanmar apabila situasinya memungkinkan. Mereka tidak datang untuk mengeksploitasi Indonesia dan keramahan masyarakatnya. Sama sekali tidak.

Mereka melarikan diri ke Indonesia karena adanya keputusasaan yang disebabkan oleh meningkatnya diskriminasi, pembunuhan, penculikan, serta situasi berbahaya lain di tempat mereka tinggal sebelumnya.

Catatan Akhir

Sebagai bangsa yang bermartabat, adalah penting bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan pemahaman tentang latar belakang dan kondisi yang tengah dialami oleh pengungsi Rohingya.

Eksodus mereka ke Indonesia semata-mata dilakukan untuk mempertahankan hak dasar mereka yang tercerabut akibat kekejaman pemerintah Myanmar. Mereka tak memiliki pilihan selain mengungsi dengan menaiki kapal-kapal kayu untuk mengarungi lautan.

Jangan sampai, karena masifnya hoaks dan pemberitaan negatif yang mengungkapkan kekurangan pengungsi Rohingya, memupus empati kita sebagai sesama manusia untuk tetap mendukung dan membantu mereka.

Jangan pula menerapkan hukuman kolektif hanya karena beberapa individu Rohingya yang melakukan suatu kesalahan atau tindak pidana. Berlakulah adil dan bijaksana sejak dalam pikiran.

Biar bagaimanapun juga, krisis pengungsi Rohingya serta perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan Israel adalah masalah kemanusiaan. Keduanya memiliki kadar yang sama besar untuk diberikan dukungan dan bantuan dari masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan spirit kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun