Namun, pasal itu menegaskan, kumpul kebo termasuk delik aduan. Bagi pelaku yang belum menikah, aduan hanya bisa dilaporkan oleh orang tua atau anak.
Hindari Kohabitasi
Pengalaman yang dirasakan oleh Mawar dapat menjadi contoh bahwa kohabitasi dalam jangka panjang (4 tahun) pun tak menjamin proses untuk mengenal sifat, karakter, dan kebiasaan pasangan bakal berjalan dengan mulus. Pasalnya, risiko kegagalan dalam pola hubungan kumpul kebo semacam itu sangat tinggi.
Selain kandasnya harapan menikah yang membuat dirinya lebih sulit untuk move on, dia juga mengaku pernah ditipu sang kekasih yang pernah membawa lari uang tabungannya senilai Rp.50 juta.
Sebagai seorang perempuan, dialah pihak yang paling dirugikan. Harapan menikah tak kunjung datang, justru malang yang akhirnya ia dapatkan. Empat tahun tentu bukanlah durasi waktu yang singkat guna melupakan setiap kenangan yang dilalui bersama dalam suka dan duka.
Para pelaku kohabitasi tak akan pernah belajar serta memahami arti menerima kekurangan pasangan. Karena tidak ada ikatan pernikahan, meski sudah tinggal seatap, mereka akan merasa lebih bebas untuk meninggalkan pasangannya usai mengetahui sisi buruk dan kekurangan masing-masing.
Hal itu merupakan alasan paling umum mengapa pasangan kohabitasi akhirnya jauh lebih mudah berpisah. Mereka tidak akan bekerja keras guna menyelamatkan hubungan karena memang tidak terikat cincin pernikahan. Para pelakunya juga memiliki masalah dengan komitmen.
Berada dalam suatu hubungan memang tidaklah mudah, dengan semua potensi masalah yang dapat muncul pada masa depan. Banyak yang lebih memilih untuk "test drive" daripada langsung menikah. Faktanya, tidak ada garansi kumpul kebo akan menjamin jalinan pernikahan yang bahagia pada masa depan.
Kumpul kebo justru bisa meniadakan sisi sakralitas dalam hubungan pernikahan, kalau memang jadi menikah. Selanjutnya pernikahan hanyalah sebatas seremoni tanpa menyisakan kesucian dan kejutan.
Selain amat berisiko, kohabitasi adalah cara paling radikal untuk mengenal sisi personal pasangan sebelum memasuki altar pernikahan. Untuk mengakalinya, filosofi percintaan berikut ini mungkin bisa membantu.
"Pada waktu pacaran (masa pendekatan) bukalah mata dan telinga lebar-lebar dan usai menikah, tutuplah mata dan telinga rapat-rapat."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H