Bagi sebagian individu, pacaran saja dianggap tidak cukup untuk mengenal sifat dan karakter asli pasangan sebelum memutuskan untuk menikah. Apakah kumpul kebo dapat menjadi solusinya?
Kumpul kebo atau yang kerapkali dikenal dengan istilah kohabitasi, selalu menjadi subjek obrolan yang ngeri-ngeri sedap di antara netizen Indonesia. Terlebih, topik semacam itu masih dipandang tabu dan bertabrakan dengan norma agama serta budaya ketimuran.
Tak banyak orang yang berani mengulas tema hangat itu secara terbuka. Namun, sebuah kicauan selebritas Twitter belum lama ini berhasil menarik atensi netizen +62 yang budiman. Reaksinya beragam, baik yang pro maupun yang kontra.
Religious considerations aside, do you think kumpul kebo is necessary before deciding to get married with your partner?— Aurelia V (@senjatanuklir) November 30, 2022
Dalam kicauannya itu, Aurelia bertanya-tanya kepada para pengikutnya, "Di luar pertimbangan mengenai agama, apakah kumpul kebo diperlukan sebelum kalian memutuskan buat menikahi pasangan?"
Menyikapi teka-teki itu, sebagian besar netizen mengatakan, kumpul kebo tidak dibutuhkan. Mereka menganggap bahwa kohabitasi tidak seirama dengan norma agama dan budaya bangsa, sehingga tak pantas dipraktikkan. Bagi mereka, masih banyak cara lain yang lebih aman untuk mempersiapkan bahtera rumah tangga.
Meski sama-sama dilahirkan dari rahim budaya ketimuran, ternyata ada banyak kalangan yang menganggap sebaliknya. Mereka menilai, kumpul kebo sangatlah dibutuhkan untuk memahami pasangan lebih dalam sebelum menuju pelaminan.
Kubu yang pro menilai bahwa kohabitasi menjadi cara yang ideal untuk mengenal sifat, karakter, dan kebiasaan pasangan, yang mana hal itu sukar dilakukan kalau sebatas berpacaran secara konvensional alias tak tinggal serumah. Hambatan itu muncul lantaran intensitas komunikasi serta pertemuan yang kurang memadai.
Mereka merasa khawatir kalau ada sifat, karakter, serta kebiasaan pasangan yang tidak sejalan dengan prinsip dan standar yang mereka yakini. Seiring berjalannya waktu, menurut mereka, perkara remeh dalam kehidupan sehari-hari umumnya sulit ditoleransi dan bisa menjadi faktor pemicu keributan pada masa depan.
Selain itu, kohabitasi juga dipilih karena adanya rasa takut yang begitu besar akan risiko perceraian. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari komentar netizen yang mendukung gaya hidup kumpul kebo.