Jika memang tak bisa membantu, setidaknya hindari memberi label "azab" kepada saudara-saudara kita yang saat ini tengah tertimpa bencana dan kemalangan. Jangan buat mereka menderita dua kali!
Seringai matahari baru saja melampaui fase tertingginya kala guncangan hebat menghantam lempeng bumi Kota Santri. Pintu-pintu rumah berderik. Bangunan-bangunan pun bergetar. Sebagian retak. Sebagian runtuh.
Raut kepanikan menguar di wajah warga yang mulai berhamburan, meninggalkan pelukan dinding-dinding bangunan yang sempoyongan. Geliat aktivitas warga pun terusik, menyisakan pekik dan panik.
310 manusia tertimbun bangunan, yang selama ini melindungi mereka dari terik dan hujan. Puluhan ribu lainnya dipaksa mengungsi, meninggalkan semua harta benda mereka yang tergilas reruntuhan.
Tak seorang pun yang mengira, gempa dengan kekuatan magnitudo 5,6 bakal mengetuk pintu-pintu rumah warga di Cianjur, Jawa Barat. Setelahnya, ada 236 kali gempa susulan yang membuat tidur mereka kian tidak nyenyak. Kendati tak berskala masif, efek amukannya sudah cukup meremukkan tempat tinggal dan masa depan mereka.
Di tengah tangis saudara-saudara kita yang belum mengering, ada saja orang-orang yang tidak menunjukkan empati dan belas kasih. Alih-alih memberikan santunan dan belasungkawa, label azab lah yang justru mereka muntahkan.
Bak jamur di musim hujan. Setiap kali terjadi bencana alam, akan selalu ada individu atau kelompok tertentu yang menyebutnya sebagai manifestasi azab. Dalam keyakinan mereka, bencana itu ditimpakan sebagai sebuah peringatan serta hukuman atas segala dosa yang dilakukan warga yang menjadi korban.
Pandangan bahwa bencana alam adalah azab memang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, baik dari perspektif agama maupun kearifan lokal. Narasi itu terus direproduksi dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebagai sebuah negeri dengan pemeluk Islam terbesar, justifikasi teologis acap digunakan dengan mengutip ayat-ayat Tuhan dan sabda nabi. Guna meyakinkan khalayak, mereka mengangkat kembali kisah-kisah kaum terdahulu yang pernah dibinasakan akibat dosa-dosanya.
Salah satu narasi teologis yang acapkali muncul adalah kisah tentang kaum Nabi Luth. Dikisahkan di dalam Qur'an, Allah menimpakan hujan batu, tanah longsor, serta gempa bumi kepada kaum Sodom secara bertubi-tubi akibat mengingkari ajaran yang dibawa oleh Nabi Luth AS.