Upaya itu dilakukan guna memperkuat narasi mereka yang sangat tendensius. Tujuannya memang tak jauh-jauh dari kepentingan elektoral pemilu ataupun penggiringan opini. Politisasi agama, dimikian publik biasa menyebutnya.
Menariknya, preferensi politik ternyata juga berperan dalam mengidentifikasi, apakah suatu bencana dapat dikatakan sebagai azab atau ujian. Kalau individu memiliki pilihan dan idola politik yang berbeda, maka itu adalah bentuk azab. Sebaliknya, jika seleranya sama, maka bencana itu hanyalah ujian biasa.
Sebagai makhluk yang berakal, ada tiga faktor yang perlu kita pahami, mengapa menghakimi para korban bencana alam dengan label azab, harus dihindari.
1. Indonesia Rawan Bencana
Indonesia, menurut World Bank, berada pada urutan ke-12 dari 35 negara yang paling rawan bencana. Ada lebih dari 40 persen populasi yang terancam dampak dari fenomena alam esktrem.
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di titik sambung empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, Benua Indo-Australia, Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Selain itu, ia juga terletak di zona Ring of Fire yang berisi banyak gunung api aktif.
Tak hanya itu, petaka hidrometeorologi juga mengintai kita seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, hingga kebakaran hutan. Bencana alam itu kerap terjadi di negara-negara tropis seperti Indonesia.
Akumulasi seluruh aspek itu membuat daratan Indonesia amat rawan terhadap berbagai bencana alam. Oleh karena itu, kebiasaan untuk selalu mengasosiasikan bencana dengan azab Tuhan merupakan perilaku yang kurang waras.
2. Berstigma Negatif
Menurut KBBI, azab adalah siksa Tuhan yang diganjarkan kepada manusia yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan agama. Dari definisi itu, dapat disimpulkan, azab mempunyai konotasi negatif sebab hanya ditimpakan kepada insan-insan yang hina, berlumur dosa.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Luka dan duka belum juga sembuh, stigma negatif sudah menghantui korban dan penyintas bencana alam. Akibat pelabelan yang tak berdasar itu, mereka menderita dua kali.
Label azab akan menempatkan korban pada posisi yang rendah, seakan-akan merekalah yang menjadi biang bencana, sehingga tak layak untuk didoakan dan dibantu. Beban ganda semacam itu bisa membuat mereka mengalami kesulitan dalam masa pemulihan pascabencana.