Guna mempertegas narasinya, catatan dosa korban bencana mereka fabrikasi sebagai pemicu utama bencana seperti LGBT, kemaksiatan, kebiasaan mabuk dan pesta, atau gaya berbusana seksi.
Adapun dalam perspektif kearifan lokal, sejak belia, kita sudah kenyang didulang asupan cerita mengenai gunung meletus, tanah longsor, banjir, topan, atau gempa bumi yang menerpa manusia pendosa.
Banyak folklor dan legenda di berbagai daerah di Indonesia yang mengisahkan tentang amukan alam akibat kesalahan manusia, seperti manusia yang dikutuk menjadi batu dan binatang atau sebuah desa/kota yang ditenggelamkan hingga berubah menjadi danau.
Kisah-kisah itu memperkuat persepsi di tengah masyarakat bahwa bencana alam adalah bukti nyata adanya murka Tuhan yang disegerakan. Namun, mereka acap melupakan faktor-faktor lain yang bisa dimengerti dengan perspektif ilmu dan logika. Padahal, agama, terutama Islam, mengharuskan para pemeluknya untuk menyelaraskan iman dan akal.
Maraknya narasi azab juga menyingkap tabir bahwa masyarakat kurang memiliki kesadaran mengenai berbagai macam isu lingkungan dan perubahan iklim–meski dampaknya dapat mereka rasakan secara langsung setiap hari di sekitarnya.
Kecenderungan manusia Indonesia yang mengaitkan bencana alam dengan narasi agama juga mengindikasikan bahwa isu-isu lingkungan hidup belum sepenuhnya masuk dalam ruang-ruang keagamaan. Dogma agama dianggap jauh lebih tinggi derajatnya dibanding ilmu pengetahuan.
Guna membantu kita dalam memahami tentang tingginya kecendrungan orang kala memandang bencana sebagai azab, jurnal ilmiah Observer's Reaction to the Innocent Victim: Compassion or Rejection dapat menawarkan alternatif jawaban.
Dari hasil penelitian itu, psikolog Melvin Lerner dan Carolyn Simmons menyebut bahwa kita akan cenderung memandang penderitaan yang dirasakan seseorang, setimpal dengan kualitas perbuatannya.
Menurut mereka, bias ini terjadi lantaran manusia memiliki dorongan fundamental untuk meyakini sebuah dunia yang adil. Dalam perspektif sosio-psikologis, bias kognitif ini disebut sebagai "just-world hypothesis" atau hipotesis dunia-adil.
Banyak orang yang mempercayai bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Begitu pula sebaliknya. Setiap hal positif seorang individu, akan selalu berujung pada kesuksesan. Vice versa. Sebetulnya, narasi itu selaras dengan ajaran agama.
Nahasnya, di Indonesia, kecendrungan orang mengasosiasikan bencana dengan azab, akan kian kencang seiring dengan datangnya tahun politik. Diturunkannya bencana alam acapkali dikaitkan dengan tokoh politik atau entitas pemerintahan tertentu yang dianggap tidak becus atau melakukan banyak kealpaan.