Polemik terus mengiringi Piala Dunia Qatar 2022, bahkan jauh sebelum ajang itu resmi dibuka. Pesta sepak bola empat tahunan yang diharapkan apolitis, justru menjadi arena politik termegah dalam sejarah spesies manusia.
Terompet Piala Dunia Qatar 2022 telah resmi dibunyikan—dengan skuat tuan rumah yang menjamu Ekuador sebagai laga pembuka. Meski ada rumor bahwa para pemain Ekuador telah disuap agar mengalah, Qatar tetap dibuat bertekuk lutut di rumahnya sendiri dengan skor akhir dua-nol tanpa balas.
Dalam prosesnya sebagai tuan ramah, Qatar seringkali diterjang beragam isu yang menyita atensi dunia. Pemilihan negeri jazirah itu, sebagai tuan rumah Piala Dunia, telah memicu gelombang protes dari segala penjuru mata angin.
Qatar dituding memiliki catatan HAM buruk, tak memiliki kultur sepak bola, beriklim ekstrem, dan terlibat korupsi dalam proses penunjukannya sebagai tuan rumah. Oleh media barat, Qatar dipandang tak layak menggelar Piala Dunia FIFA. Aksi boikot pun terjadi di mana-mana, terutama di Benua Biru.
Pengusiran Rusia dari babak kualifikasi lantaran menginvasi Ukraina, membuat kontroversi makin melebar. Setelahnya, FIFA juga didesak supaya mencoret Iran karena timbulnya konflik vertikal yang terjadi di Negeri Para Mullah itu. Kedua isu geopolitik tersebut kian menambah panjang elemen politik dalam gelaran Piala Dunia Qatar 2022 kali ini.
Olahraga yang digadang-gadang bebas dari kepentingan politik—setidaknya itulah yang selama ini dicitrakan oleh FIFA—justru menjadi panggung politik termegah dalam sejarah umat manusia.
Akibat bara politik yang kian membara, FIFA sampai harus mengirim surat ke seluruh peserta. Presiden FIFA Gianni Infantino meminta mereka untuk fokus hanya pada aspek sepak bola ketimbang isu-isu politis yang berkembang.
"Kami tahu sepak bola tak hidup dalam ruang hampa dan kami sama-sama menyadari bahwa ada banyak tantangan dan kesulitan yang bersifat politik di sekitar," demikian isi surat FIFA.
Kendati begitu, kapten Jerman, Inggris, dan delapan kapten tim Eropa lain akan tetap memakai ban lengan "One Love". Padahal, budaya dan hukum syariah di Qatar melarang keras berbagai aksi dan simbol yang mengarah pada hubungan tidak lazim alias menyimpang.
Namun, gerakan itu agaknya tidak akan pernah terjadi sebab FIFA akan memberi sanksi tegas bagi siapa saja yang tidak mematuhi peraturan. Sebagai gantinya, skuat Jerman melakukan aksi simbolis dengan membungkam mulut pada laga versus Jepang. Alih-alih bisa menang, mereka justru dibungkam tim Samurai.
Aksi protes juga dilakukan oleh skuat Denmark, yang memakai jersi hitam khusus sebagai wujud kritik terhadap tewasnya ribuan buruh migran dalam pembangunan stadion. Australia dan Prancis pun melakukan protes senada dengan caranya masing-masing.
Politisasi Berbalut HAM
Bagi sebagian besar orang, politik hanya diartikan sebagai urusan yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan dan proses menjalankan pemerintahan atau negara. Padahal, politik memilki lingkup definisi yang jauh lebih luas.
Intisari dari politik adalah manusia dan tatanan hidupnya. Menurut teori klasik Aristoteles, politik adalah sebuah usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Masyarakat mengadopsi politik sebagai cara untuk mencapai kebaikan bersama yang dianggap memilki nilai moral yang lebih tinggi. Dalam politik, ada tujuan-tujuan moral atau nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak seperti kebahagiaan, keadilan, dan kebenaran.
Adapun jika merujuk pada kamus politik filsuf asal Austria, Hans Kelsen, ada dua macam definisi politik, yakni politik etik serta politik teknik.
Politik sebagai etik, berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar bisa hidup secara sempurna. Adapun politik sebagai teknik, berkaitan dengan cara manusia atau individu dalam mencapai suatu tujuan.
Berkaca dari definisi tersebut, sejatinya gerakan yang dilakukan oleh tim Eropa ialah suatu pernyataan dan manifestasi politik yang "telanjang". Pasalnya, ada nilai moral serta tujuan bersama yang ingin diwujudkan. Terlebih lagi, narasi serta gerakannya juga dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Kala Anda, katakanlah, menjadi seorang homoseksual, maka itu bukanlah politik. Akan tetapi, apabila Anda secara terbuka mengajak orang lain untuk menjadi gay atau melakukan kampanye untuk kaum homoseksual, maka aksi Anda berubah menjadi gerakan politik.
Aksi itulah yang sudah lama diterapkan oleh timnas negara Eropa dan Amerika Serikat ketika mengenakan ban lengan bertajuk "One Love" bernuansa pelangi, dengan dalih mendukung HAM.
Guna mengakali regulasi FIFA, mereka akan membalut aksi politik itu dengan narasi "gerakan untuk kemanusiaan". Namun, mereka acapkali tak konsisten dalam menyikapi adanya pelanggaran terhadap kemanusiaan yang terjadi di belahan bumi lainnya seperti di Timur Tengah, Asia, dan Afrika.
Arena Politik Suporter
Selaras dengan para pemain, kelompok suporter pun menjadikan Piala Dunia di Qatar sebagai panggung politik terbuka. Mengikuti langkah idolanya, banyak fan timnas negara Eropa yang mengenakan atribut bercorak pelangi sebagai bentuk dukungan bagi komunitas LGBT, meski kemudian dilarang petugas stadion.
Sebagai representasi negara timur, para suporter Iran pun turut menyuarakan isu politik yang terjadi di negaranya. Mereka tampak membentangkan poster "Woman Life Freedom" di stadion, sebagai bentuk protes akibat maraknya kekerasan pada perempuan di Negeri Para Mullah itu.
Sportwashing
Usai didapuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010 silam, Qatar mulai mencitrakan dirinya sebagai negara yang sangat aktif terlibat dalam sepak bola global. Setelahnya, sejumlah emir Qatar mulai melakukan ekspansi ugal-ugalan dengan mengakuisisi klub-klub Eropa.
Namun, pada sisi lain, negera teluk ini disorot terkait pembatasan kebabasan berpendapat, kriminalisasi komunitas LGBT, dan pelanggaran HAM terhadap pekerja migran. Sejak saat itulah, Qatar dinilai tengah melakukan sportwashing untuk memulihkan citra negaranya.
Sportwashing merupakan sebuah upaya yang dilakukan korporasi atau negara tertentu guna mengaburkan kesalahan yang mereka lakukan lewat panggung olahraga, salah satunya sepak bola.
Dalam riset yang bertajuk Sportwashing: Complicity and Corruption, dideskripsikan bahwa dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia, Qatar bisa menikmati relasi dekat dengan jagat sepak bola sebagai olahraga paling populer sejagat. Popularitas sepak bola akan menggantikan jenis informasi lain terkait negeri petrodolar tersebut.
Sampai di titik ini, sudah sangat terang bahwa Piala Dunia Qatar 2022 adalah sarana politik "soft power" bagi negeri petrodolar itu untuk menyucikan dosa-dosa yang pernah mereka lakukan.
FIFA dan Politik
FIFA sangat lantang berkampanye bahwa sepak bola harus suci dari urusan politik. Padahal, FIFA sendiri sejatinya didirikan di atas pondasi batu politik yang dibentuk negara-negara kolonial. Banyak problem politis yang menguar dalam tubuh FIFA sejak awal berdiri dan masih terus politis hingga detik ini.
FIFA tak ingin adanya unsur politik yang diseret ke dalam permainan. Akan tetapi, FIFA sendiri ialah organisasi politik yang membuatnya sulit guna menyucikan diri dari urusan politik. Bahkan, dalam tubuh mereka sendiri, banyak pejabatnya yang terjerat pidana akibat instrik politik.
Adalah wajar jika suatu negara disanksi karena pelanggaran aturan di lapangan atau pelanggaran secara administratif. Namun, disanksi lantaran pelanggaran yang tidak ada kaitannya dengan sepak bola merupakan hal yang tidak wajar.
FIFA lagi-lagi menelan ludahnya sendiri. Jargon Kick Politics Out of Football yang tertuang pada Pasal 4 ayat (5) Law of the Games 2021/2022, tak lebih dari sekadar omong kosong yang diperdagangkan.
Badan sepak bola dunia ini terlalu dalam menyeburkan diri ke area politik. Mereka menghukum Rusia, tetapi menutup mata terhadap dosa-dosa yang dilakukan oleh negara lain, terutama blok barat.
Mereka tidak berkutik dalam menyikapi invasi Israel ke Palestina meskipun telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Begitu pun dengan Amerika Serikat yang memiliki catatan HAM buruk serta dosa perang yang tak termaafkan di kawasan Timur Tengah.
Kini ada 14Â negara di seluruh dunia yang pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia sejak tahun 1930 hingga 2022 ini. Nyaris tidak ada satu pun negara yang terbebas dari pelanggaran HAM. Dari sanalah ide "Kick Politics out of Football" menemui urgensinya dan harus diterapkan tanpa pandang bulu.
Ajang Apolitis yang Paling Politis
Sebuah panggung olahraga yang selalu dicitrakan apolitis oleh publik sepak bola, justru menjadi ekosistem yang strategis untuk menampung berbagai kepentingan politik dari seluruh penjuru dunia. Tidak hanya bagi tuan rumah dan pemain saja, tetapi juga kelompok suporter.
Sebagai "ratu adil" di dunia sepak bola, FIFA memiliki tugas yang sangat berat untuk membuat parameter dan batasan tentang sejauh apa suatu tindakan bisa disebut sebagai aksi politik.
Selama batas dan parameternya masih kelabu atau hanya memihak kelompok tertentu saja, selama itu pula sepak bola tidak akan benar-benar bisa lepas dari segala kepentingan politik.
Merujuk pada sejumlah realitas di atas, tidak berlebihan apabila menyebut Piala Dunia Qatar 2022 sebagai ajang apolitis yang paling politis sejak event sepak bola empat tahunan itu pertama kali digelar.
Pada akhirnya, politik dalam sepak bola adalah sebuah keniscayaan yang sangat sulit, bahkan mustahil, untuk dihindari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H