Sebagaimana algoritma yang dirancang CA, data-data publik yang diretas dapat dikumpulkan guna mendesain program segmentasi untuk menyasar kelompok pemilih tertentu alias profiling.
Misalnya, dengan mengkategorikan para pemilih berdasarkan jenis kelamin, usia, domisili, agama, jumlah keluarga, serta level pendidikan. Segmentasi demografis itu nantinya juga bisa dipadukan dengan data-data lain untuk memetakan afiliasi serta preferensi politik pemilih. Dengan begitu, mereka bisa membuat kampanye politik dan target iklan di media sosial.
Dengan bantuan data-data yang sudah diolah sedemikian rupa, para kandidat pemilu dapat menggunakannya untuk merancang sebuah kampanye berbasis demografi, yang menargetkan pemilih yang lebih spesifik. Cara itu jauh lebih efektif ketimbang memanfaatkan iklan televisi atau media konvensional lain.
Nahasnya, data yang sama ternyata juga dapat dibajak oleh oknum-oknum partai politik untuk menambah kekurangan anggota partai sebagai syarat verifikasi administrasi peserta pemilu.
Agar lolos sebagai peserta Pemilu 2024, partai politik harus memiliki minimal 1000 anggota di setiap kabupaten/kota. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 173 ayat (2) huruf (f), UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sekilas, jumlah keanggotaan 1000 orang di setiap kabupaten/kota terkesan kecil untuk partai yang mampu memperoleh jutaan suara. Namun, bagi partai politik kecil atau yang baru didirikan, jumlah keanggotaan itu tebukti sulit dipenuhi.
Menurut laporan KPU Surabaya, dari 24 partai yang ikut verifikasi, ada beberapa partai yang jumlah anggotanya kurang dari 1000 individu: Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Republik, Partai Gelora, dan Partai Bulan Bintang (PBB). Mungkin kasus pencatutan sanada juga banyak dijumpai di daerah-daerah lain.
Perlu dicatat, untuk mendaftar sebagai anggota partai, hanya akan dibutuhkan informasi-informasi yang tertulis pada KK-KTP. Pihak KPU serta Bawaslu pun hanya memerlukan kepemilikan kedua dokumen itu sebagai bukti keanggotan partai politik, selain adanya KTA.
Bisa jadi data-data publik yang pernah dijual di forum gelap itulah yang lantas digunakan oknum partai politik dalam menambah jumlah keanggotaan untuk bisa lolos verifikasi Pemilu 2024 nanti. Hal itu terbukti dari kasus pencatutan nama yang belakangan marak terjadi di berbagai daerah.
Menjelang tahun Pemilu 2024, banyak orang yang mengaku namanya dicatut oleh partai untuk didaftarkan menjadi anggota partai tanpa izin. Banyak pula anggota KPU yang namanya terdaftar sebagai anggota partai, kendati mereka tidak pernah merasa mendaftar.