Berbagai jenis kekerasan yang acapkali terjadi di lingkungan pondok pesantren sebelumnya juga sudah diwanti-wanti oleh Nurcholish Madjid/Cak Nur bahwa feodalisme berbalut agama, jauh lebih berbahaya dibanding feodalisme biasa.
Nahasnya, pesantren ialah lembaga yang lebih berfokus pada nilai dan pendidikan agama yang diharapkan suci dari adanya kekerasan di dalam lingkungan "penjara suci" itu. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, banyak ditemui kasus-kasus kekerasan di sana. Ironisnya, banyak di antaranya justru dilakukan oleh seorang kiai atau nasabnya yang dikultuskan.
Selama periode 2017-2021, merujuk data yang dikumpulkan Komnas Perempuan, ada 16 kasus kekerasan seksual di pondok pesantren. Sedangkan menurut catatan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada lima kasus kekerasan seksual di pondok pesantren sepanjang Januari-Juli 2022. Jumlah itu hanya kasus-kasus yang diadukan saja, sebab masih banyak kasus sejenis yang tak pernah dilaporkan.
Urgensi Pengawasan
Maraknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan "penjara suci", mengungkap sebuah fakta bahwa sistem pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, belum cukup maksimal atau bahkan tidak dilakukan.
Sebagai institusi pendidikan keagamaan berbasis komunitas, izin atas pendirian pondok pesantren tak dirancang seketat lembaga pendidikan lainnya, termasuk dalam hal penilaian atau akreditasi.
Oleh sebab itu, seharusnya Kementerian Agama (Kemenag), yang membawai izin pendirian pesantren, melakukan upaya pembenahan dalam koridor mekanisme pengawasan untuk mencegah kejadian serupa terus terulang pada masa depan.
Kemenag hendaknya juga mengadakan asesmen pada sisi personal para tenaga pengajar serta memperkuat mekanisme pelaporan aksi kekerasan di pesantren. Hal itu vital untuk memastikan mereka tetap mempunyai integritas serta sehat secara mental dan spiritual. Juga harus ada aturan yang mengatur pencegahan serta mitigasi kekerasan di pesantren.
Dalam hal ini peran pihak kepolisian juga sangat vital, sebab dalam beberapa kasus, mereka tak optimal dalam menajalankan tugasnya. Ketegasan dari aparat penegak hukum amat diperlukan untuk menindak setiap pelaku kekerasan tanpa terkecuali.
Jangan sampai karena lemahnya sistem pengawasan, melahirkan ketakutan dan keraguan di tengah masyarakat terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Pesantren adalah warisan budaya bangsa, sudah seharusnya dijaga bersama-sama.
Mungkin, hanya ada satu penawar untuk otoritas tanpa kontrol yang dimiliki oleh pesantren yang kental dengan nuansa feodalisme, yakni mengurangi otoritas dengan cara menerapkan kontrol ketat.
Masyarakat harus menyadari bahwa kiai, mursyid, ustaz, gus, atau siapa pun yang dianggap alim pada era kiwari, bukanlah sosok nabi–yang maksum. Mereka pada saatnya juga akan melakukan kesalahan.