Tak sebatas menjadi pusat pendidikan tertua di Indonesia, pondok pesantren juga mempunyai fungsi integral dalam pemberdayaan dan transformasi sosial masyarakat Nusantara. Eksistensi dan perannya bahkan dapat ditelusuri sejak era kerajaan hingga rezim demokrasi.
Dalam pola pendidikan uniknya, pondok pesantren terus bertahan dalam terpaan perubahan zaman selama ratusan tahun dengan mengamalkan nilai, norma, dan prinsip kehidupannya sendiri.
Zaman silih berganti, tetapi tradisi khas pesantren seperti hubungan santri-kiai, konsep barkah, transmisi keilmuan, dan karakteristik khas lainnya, masih tetap dipertahankan sampai hari ini.
Pesantren bertumbuh dan berkembang dengan menerapkan pemahaman Islam Nusantara yang menjadi hasil akulturasi filosofi keislaman dengan budaya lokal. Kearifan lokal yang lebih dahulu lahir di Indonesia tidak dihilangkan begitu saja, tetapi dikawinkan dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar saat pesantren, terutama model pondok pesantren klasik, mewarisi feodalisme yang dahulu sempat menguasai sistem kekuasaan di Nusantara. Sebagaimana identitas komunitas tradisional lainnya, feodalisme merupakan salah satu faktor pembentuk kultur di pesantren.
Manifestasi feodalisme di pesantren bisa dilihat dalam hubungan patronasi antara kiai dan santri. Dengan model patronasi (patron-klien), hubungan yang tercipta melibatkan dua komunitas atau individu yang tak sederajat–baik dari segi status sosial, kekuasaan, maupun penghasilan.
Hal itu membuat klien alias santri, akan berada dalam poisisi yang lebih rendah (inferior). Adapun patron atau kiai, akan berada pada posisi yang jauh lebih tinggi (superior). Menurut Pramoedya Ananta Toer, pola relasi itu disebutnya dengan kelas priyayi dan orang kebanyakan.
Lazimnya sosok kiai memiliki kedudukan ganda, yakni sebagai pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Secara kultural, peran mereka cukup identik dengan bangsawan feodal yang menguasai kerajaan kecilnya yang bernama pondok pesantren.
Oleh santri, seorang kiai acap dianggap sebagai entitas suci yang tidak mungkin berbuat dosa serta kesalahan. Sehingga, apa pun yang diucapkan harus dipatuhi dengan dasar agama–tanpa melibatkan penilaian moral terlebih dahulu.
Dalam ajaran Islam, prinsip itu dikenal dengan sebutan "sami'na wa atha'na". Artinya, kami mendengar dan kami taat. Dengan kata lain, mereka menganggap seluruh perkataan serta perbuatan kiai sebagai panutan dan kebenaran mutlak sehingga wajib dipatuhi dan ditiru. Jika tidak, maka akan berdosa, kualat, atau ilmunya dituding tak akan bermanfaat.