Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Poor Aesthetic, Komodifikasi Kemiskinan ala Mode Fesyen Mewah

12 September 2022   13:04 Diperbarui: 12 September 2022   13:11 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepatu Balenciaga yang dijual seharga Rp.27,5 juta. | Sumber Balenciaga via Prestigeonline.com

Selama beberapa dekade terakhir, gaya fesyen dengan tema gembel, compang-camping, robek-robek, vintage, usang, kotor, dekil, penuh noda, atau apa pun sebutannya, tengah mendominasi tren industri mode global. Terutama rumah mode yang berasal dari Paris, Prancis.

Entah mengapa mereka sangat terobsesi dengan karakteristik-karakteristik yang melekat pada kemiskinan. Meski begitu, produk-produknya dilego dengan harga yang benar-benar di luar nalar. Kontras!

Paris Sneaker, misalnya, yang wujudnya benar-benar rusak, dipenuhi lubang dan noda. Sepatu produksi rumah mode asal Prancis, Balenciaga, ini juga robek sana-sini. Di bagian solnya tercetak logo khas Balenciaga yang dicat secara asal-asalan. Bisa jadi desainernya merasa kesal saat sedang mendesain sepatu awikwok ini.

Sepatu Balenciaga yang dijual seharga Rp.27,5 juta. | Sumber Balenciaga via Prestigeonline.com
Sepatu Balenciaga yang dijual seharga Rp.27,5 juta. | Sumber Balenciaga via Prestigeonline.com

Tampilan sepatunya betul-betul seperti habis dilindas mesin pemotong rumput berhari-hari. Mungkin jauh lebih cocok disebut puing-puing sisa perang gerilya dibandingkan fesyen mahal nan mewah.

Sepatu dekil ini hanya dijual 100 pasang serta ditawarkan dengan banderol yang tidak kalah brutalnya, senilai $1850 atau Rp.27,5 juta! Ya, hampir 30 juta. Hanya untuk menjajal kemewahan sepatu yang berbau kemiskinan yang membabi-buta.

Balenciaga tidak pernah menahan diri untuk mendobrak batas. Merek fesyen edgy nan classy ini bahkan menjual tas absurd yang identik dengan kantong sampah, seharga $1790 (Rp.26,6 juta). Kantong sampah termahal di galaksi!

Balenciaga bukan rumah mode pertama yang mempopulerkan tren fesyen brutal semacam itu. Sudah ada banyak rumah mode mewah lain yang mempopulerkan fesyen bernuansa gembel senada. Sebut saja Gucci, Golden Goose, Balmain, dan Yeezy.

Bisnis fesyen Yeezy milik rapper asal AS, Kanye West, bahkan secara blak-blakan mengklaim terinspirasi gaya berbusana tunawisma sebagai ciri khasnya. Produk fesyen gembel ala Kanye kerap menjadi target cemooh di internet karena dinilai mengkomodifikasi simbol kemiskinan.

Mendesain produk-produk kontroversial terbukti ampuh guna mencuri perhatian publik. Tak lama usai dirilis, produknya seketika viral dan menjadi topik obrolan. Strategi itu jauh lebih efisien dan efektif dibanding dengan iklan konvensional.

Sama seperti jenama lainnya, Yeezy juga tak segan-segan memasang label harga setinggi langit untuk setiap produk yang ditawarkan. Dengan harga semahal itu, otomatis hanya kalangan orang kaya lah yang sanggup membelinya.

Sebelum diadopsi rumah mode mewah, gaya fesyen ini lazim dipakai oleh para tunawisma atau orang-orang yang tak beruntung lainnya. Mereka dipaksa oleh keadaan sehingga mengenakan pakaian atau barang-barang yang sudah usang karena tak mampu membeli yang baru.

Gaya fesyen yang sama sebelumnya juga pernah dipakai sebagai ikon perlawanan. Estetika kemiskinan alias poor aesthetic dapat dijumpai sejak era rock dan heavy metal pada era 1980-an. Untuk pertama kalinya busana robek digunakan sebagai pilihan mode dan estetika, bukan akibat desakan kondisi atau kebutuhan.

Sebagian yang lain menganggap pakaian robek sebagai ikon perlawanan terhadap kemapanan. Mereka akan mengiris atau merobek baju dan celananya sendiri kala terlibat dalam suatu gerakan sosial.

Pakaian yang Anda pakai memang dapat mencerminkan status sosial Anda, atau setidaknya bisa menampilkan imej yang Anda inginkan. Gaya busana adalah cara non-verbal untuk menunjukkan kepada semua orang apa yang telah Anda capai. 

Dahulu, busana orang kaya dan miskin amatlah berbeda yang memungkinkan untuk menebak dari kelas sosial mana seseorang berada dalam sekejap. Guna mempertegas strata sosial yang lebih tinggi, barang mewah pun diciptakan.

Barang mewah adalah indikator status. Mereka menunjukkan status sosialnya sehingga mampu berkomunikasi serta berdiri sejajar di kalangan kelas atas.

Akan tetapi, komodifikasi kemiskinan yang diperagakan jenama mode mewah ini menimbulkan paradoks, yang mana seluruh kelas sosial kini justru terlihat seragam. Secara penampilan, keduanya susah dibedakan. Mungkin hanya label harga busana mereka lah yang menjadi faktor pembeda yang sangat mencolok.

Tentunya menjadi pemandangan yang sangat kontras ketika mereka memakai pakaian yang diambil dari rakyat jelata, sembari menaiki Bentley atau Maserati. Barangkali, mereka merasa bangga bisa membeli barang-barang remeh dengan harga fantastis yang hanya secuil orang saja yang mampu menggapainya.

Kaus robek-robek Balmain (kiri). Sweater hancur Yeezy rancangan Kanye West. | Diolah dari Nydailynews.com
Kaus robek-robek Balmain (kiri). Sweater hancur Yeezy rancangan Kanye West. | Diolah dari Nydailynews.com

Mode bertema kemelaratan melahirkan banyak pertanyaan moral dan filosofis seputar apropriasi. Mengapa orang kaya ingin terlihat miskin? Apa agar mereka tidak terlihat mencolok, sehingga tidak mengundang orang yang berniat jahat? 

Apakah dengan membajak gaya busana orang miskin menjadi taktik lain untuk menonjolkan status sosial mereka? Apa ini upaya agar terlihat edgy dan otentik, sembari mengolok-olok kemiskinan?

Tren mode ini menggambarkan sebuah ironi gemerlapnya dunia fesyen global. Inspirasi dalam mendesain produknya bisa lahir dari mana saja. Termasuk di antaranya krisis kemanusiaan, seperti maraknya kemiskinan dan kelaparan.

Jenama mewah memang sangat getol mengglorifikasi kemiskinan lantaran sering menjual produk-produk mahal, yang sengaja dirancang untuk terlihat usang. Mereka meruap cuan besar dari kesesengsaraan orang-orang melarat beserta simbol-simbolnya.

Oleh desainernya, kemiskinan diadopsi sebagai komoditas yang dilepas dengan harga yang fantastis. Mereka mencoba untuk "membajak" simbol kemiskinan menjadi tren yang dinilai lebih eksotis.

Membayar puluhan juta untuk sepotong pakaian yang sangat compang-camping merupakan penghinaan bagi orang yang hampir tidak mampu membeli pakaian. Dampak kemiskinan yang bisa merusak kehidupan orang, tak boleh diremehkan. Namun, jenama mode mewah itu justru menganggapnya sebagai mode busana.

Padahal, di belahan dunia lainnya, ada banyak orang yang harus mengenakan busana itu-itu saja setiap hari lantaran tidak mampu membeli pakaian baru. Di luar sana, ada banyak anak yang diolok-olok oleh temannya, lantaran memakai sepatu yang telah usang dan berlubang.

Mengubah penderitaan orang menjadi mode busana, bukanlah hal yang keren bagi jenama yang telah memiliki basis konsumen yang sangat luas dan masif. Mereka mengabaikan moralitas hanya untuk mengantongi lebih banyak profit serta memenuhi kebutuhan penggemar mode yang sama sekali tak masuk akal.

Kemiskinan bukan suatu estetika, juga bukan keadaan yang patut ditiru serta diadaptasi. Apalagi, saat kesengsaraan mereka didaur ulang dan dipasarkan di lingkungan kelas atas dengan harga di luar jangkauan nalar.

Ironisnya, masih banyak merek fesyen mewah yang memberikan upah rendah kepada pekerjanya, di antaranya Gucci. Ternyata harga produk yang mahal tak memberikan jaminan jika mereka akan membayar pegawainya dengan pantas. Keengganan mereka guna memberikan upah pantas tentu dapat berkontribusi mendorong naiknya angka kemiskinan.

Dampak kemiskinan bagi mereka yang berkutat di dalamnya, sangatlah berat. Mereka terjebak dalam pusaran perang panjang untuk melawan keterbatasan. Mereka juga sangat rawan mengalami penurunan kesehatan fisik dan mental. Juga kekurangan akses makanan serta kesehatan, dan acapkali terpinggirkan.

Jenama-jenama mode mewah itu akan terus mengeruk keuntungan besar dari komodifikasi kemiskanan. Sementara yang benar-benar miskin, akan terus-menerus berkutat dalam penderitaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun