Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Poor Aesthetic, Komodifikasi Kemiskinan ala Mode Fesyen Mewah

12 September 2022   13:04 Diperbarui: 12 September 2022   13:11 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah dengan membajak gaya busana orang miskin menjadi taktik lain untuk menonjolkan status sosial mereka? Apa ini upaya agar terlihat edgy dan otentik, sembari mengolok-olok kemiskinan?

Tren mode ini menggambarkan sebuah ironi gemerlapnya dunia fesyen global. Inspirasi dalam mendesain produknya bisa lahir dari mana saja. Termasuk di antaranya krisis kemanusiaan, seperti maraknya kemiskinan dan kelaparan.

Jenama mewah memang sangat getol mengglorifikasi kemiskinan lantaran sering menjual produk-produk mahal, yang sengaja dirancang untuk terlihat usang. Mereka meruap cuan besar dari kesesengsaraan orang-orang melarat beserta simbol-simbolnya.

Oleh desainernya, kemiskinan diadopsi sebagai komoditas yang dilepas dengan harga yang fantastis. Mereka mencoba untuk "membajak" simbol kemiskinan menjadi tren yang dinilai lebih eksotis.

Membayar puluhan juta untuk sepotong pakaian yang sangat compang-camping merupakan penghinaan bagi orang yang hampir tidak mampu membeli pakaian. Dampak kemiskinan yang bisa merusak kehidupan orang, tak boleh diremehkan. Namun, jenama mode mewah itu justru menganggapnya sebagai mode busana.

Padahal, di belahan dunia lainnya, ada banyak orang yang harus mengenakan busana itu-itu saja setiap hari lantaran tidak mampu membeli pakaian baru. Di luar sana, ada banyak anak yang diolok-olok oleh temannya, lantaran memakai sepatu yang telah usang dan berlubang.

Mengubah penderitaan orang menjadi mode busana, bukanlah hal yang keren bagi jenama yang telah memiliki basis konsumen yang sangat luas dan masif. Mereka mengabaikan moralitas hanya untuk mengantongi lebih banyak profit serta memenuhi kebutuhan penggemar mode yang sama sekali tak masuk akal.

Kemiskinan bukan suatu estetika, juga bukan keadaan yang patut ditiru serta diadaptasi. Apalagi, saat kesengsaraan mereka didaur ulang dan dipasarkan di lingkungan kelas atas dengan harga di luar jangkauan nalar.

Ironisnya, masih banyak merek fesyen mewah yang memberikan upah rendah kepada pekerjanya, di antaranya Gucci. Ternyata harga produk yang mahal tak memberikan jaminan jika mereka akan membayar pegawainya dengan pantas. Keengganan mereka guna memberikan upah pantas tentu dapat berkontribusi mendorong naiknya angka kemiskinan.

Dampak kemiskinan bagi mereka yang berkutat di dalamnya, sangatlah berat. Mereka terjebak dalam pusaran perang panjang untuk melawan keterbatasan. Mereka juga sangat rawan mengalami penurunan kesehatan fisik dan mental. Juga kekurangan akses makanan serta kesehatan, dan acapkali terpinggirkan.

Jenama-jenama mode mewah itu akan terus mengeruk keuntungan besar dari komodifikasi kemiskanan. Sementara yang benar-benar miskin, akan terus-menerus berkutat dalam penderitaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun