Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Mi Instan Naik, Bukti Kegagalan Diplomasi Jokowi?

16 Agustus 2022   13:49 Diperbarui: 17 Agustus 2022   19:00 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harga mi instan naik. | (Kompas.com/Heru Dahnur)

Dalam situasi konflik yang masih sengit, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat manuver mengejutkan ketika melawat ke Ukraina dan Rusia, (27/6/2022). Sembari membawa pesan perdamaian, ada sebuah misi strategis dalam negeri yang turut ia perjuangkan untuk kebaikan rakyatnya.

Selain mendegradasi aspek kemanusiaan, ekonomi, dan energi global, friksi antara negara eks-imperium Uni Soviet itu juga berdampak pada sektor pangan. Fakta itu disadari benar oleh Presiden Jokowi. Oleh karena itu, dalam salah satu poin krusial kunjungannya ini, ia turut membahas isu krisis pangan global yang dinilai krusial.

Dalam pertemuannya dengan Volodymyr Zelenskyy, Jokowi menyampaikan peran penting Ukraina dalam rantai distribusi pangan. Semua opsi perlu dilakukan agar Ukraina bisa kembali melakukan ekspor komoditas pangan yang dibutuhkan oleh publik global, khususnya Indonesia.

Pada aspek pangan, mungkin Indonesia belum bisa dikategorikan krisis. Namun, pasokan sejumlah bahan pangan dalam negeri memang mengalami penurunan, bahkan pasokannya terhenti. Terutama komoditas yang masih banyak diimpor dari Ukraina, seperti serealia.

Sebagai akibatnya, harga serealia global pun naik. Padahal, 25 persen kebutuhan gandum dan meslin di Tanah Air berasal dari Ukraina. Impak turunannya, harga pangan yang terbuat dari tepung terigu juga turut naik. Salah satunya mi instan.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, bahkan memprediksi bahwa mi instan akan mengalami kenaikan harga hingga tiga kali lipat. Namun, asumsi itu ramai-ramai dibantah para produsen mi instan di dalam negeri. Kendati naik, menurut mereka, angkanya tidak setinggi itu.

Meski demikian, perang Rusia-Ukraina ternyata bukanlah faktor tunggal yang bertanggung jawab terhadap kenaikan harga komoditas serealia. Sebenarnya harga gandum sudah mengalami tren kenaikan hingga 68 persen sejak 2021.

Adapun penyebabnya adalah kegagalan panen sebagai imbas perubahan iklim, seperti yang melanda Amerika Serikat dan Kanada yang mengalami degradasi produksi sebanyak 40%. Situasi itulah yang secara bertahap mengerek harga gandum global. Konflik Rusia-Ukraina makin menambah margin kenaikannya. 

Tak Sepenuhnya Gagal

Sebagai negara penggemar mi terbesar kedua di dunia–setelah Cina–kenaikan harga mi instan dalam negeri tentunya akan berpotensi menurunkan legitimasi Presiden Jokowi. Sehingga, pesan damai yang dibungkus dengan Diplomasi Mi Instan dianggap sangat mendesak guna memulihkan pasokan gandum di dalam negeri serta demi mencegah krisis yang lebih besar.

Perang yang disertai blokade terhadap pelabuhan Ukraina di Laut Hitam, telah membuat Ukraina tak bisa mengekspor produk-produk pertaniannya ke negara lain. Dampaknya, puluhan juta ton biji-bijian terperangkap di silo dan gudang.

Sanksi negara barat ke Rusia turut andil dalam memperparah kondisi tersebut. Vladimir Putin melakukan balas dendam dengan mengurangi, bahkan menyetop ekspor produk yang dibutuhkan banyak negara. Hal itu akhirnya memicu negara-negara pemasok gandum lain melakukan kebijakan proteksi untuk menjaga stok gandum di negaranya masing-masing.

Walaupun diragukan oleh banyak pihak, Diplomasi Mi Instan yang diluncurkan Jokowi berhasil membangun kesadaran kolektif para pemimpin dunia terkait isu krisis pangan global. Termasuk kedua pemimpin negara yang terlibat konflik, Putin dan Zelenskyy.

Kendati belum ada sinyal akan berdamai, manuver Jokowi yang membingkai upaya gencatan senjata dengan persoalan krisis pangan, telah menjadi dasar diadakannya pertemuan langsung wakil dari Ukraina serta Rusia di Instanbul, yang difasilitasi PBB dan Turki.

Kedua pihak yang bertikai akhirnya bisa mencapai kesepakatan untuk membuka ekspor gandum Ukraina yang tertahan di area Laut Hitam. Ukraina dan Rusia telah menandatangani perjanjian pada Jumat, (22/7/2022), yang akan membuka keran impor jutaan ton biji gandum ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.

Terbukanya keran impor gandum dari Ukraina tentunya tidak semerta-merta dapat dirasakan langsung masyarakat global. Diperlukan proses yang sangat panjang agar pasokan gandum kembali stabil. Untuk itu, ada alternatif pilihan yang bisa dilakukan pemerintah dalam menyikapi kelangkaan stok gandum.

1. Pengalihan Impor

Indonesia masih memiliki pilihan impor gandum alternatif dari beberapa negara untuk memenuhi kebutuhan nasional. Namun, dalam prosesnya, dibutuhkan upaya diplomasi yang tepat dan cermat agar negara produsen gandum bersedia membuka keran impornya ke Indonesia.

Selain Ukraina dan Rusia, ada 7 negara penghasil serealia yang menghentikan ekspor gandumnya seperti Kazakhstan, India, Kirgizstan, Afghanistan, Aljazair, Kosovo, serta Serbia. Pemerintah dapat menjalin kesepakatan dengan sejumlah negara tersebut.

Negara penghasil gandum terbesar di dunia lain seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Prancis, dan Kanada juga bisa menjadi alternatif untuk memulihkan pasokan gandum di dalam negeri.

2. Subtitusi Sorgum

Biji sorgum termasuk ke dalam kategori bahan pangan untuk pembuatan sereal, roti, dan pasta. Oleh karena itu, sorgum dinilai bisa menggantikan gandum yang mulai sulit didapatkan di pasaran.

Perlahan tetapi pasti, pemerintah telah mulai mendorong produksi sorgum di dalam negeri. Sudah ada sekitar 4.355 hektar lahan yang ditanami sorgum di enam provinsi yang memiliki kapasitas produksi mencapai 15.243 ton.

Untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri, angka tersebut tentunya masih harus ditingkatkan. Kementerian Pertanian (Kementan) diharapkan bisa menggenjot kapasitas produksi sorgum supaya Indonesia mampu mengurangi ketergantungan impornya yang sangat besar terhadap komoditas serealia.

3. Budidaya Gandum

Di tengah ketergantungan pada gandum yang amat tinggi, pengembangan sektor serealia dipandang mendesak. Kabarnya, BRIN telah melakukan penelitian untuk menghasilkan varietas gandum (tropis) yang dapat dikembangkan di Indonesia. Namun, masih perlu dioptimalkan guna mendapatkan hasil yang memuaskan.

Upaya serupa juga kini tengah dilakukan oleh Kementan dalam mengembangkan budidaya tanaman gandum di Indonesia Timur, khususnya area NTT dan Papua.

Semoga upaya kedua lembaga bisa cepat membuahkan hasil agar Indonesia tidak harus bergantung pasokan gandum dari luar negeri. Dengan begitu, selanjutnya akan mempermudah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga produk-produk turunannya, seperti mi instan.

Harga mi instan naik. | (Kompas.com/Heru Dahnur)
Harga mi instan naik. | (Kompas.com/Heru Dahnur)

Jika berkaca pada konsensus yang telah dicapai oleh Ukraina dan Rusia di Turki, Diplomasi Mi Instan yang didesain oleh Presiden Jokowi sejatinya telah berhasil mendorong sejumlah pemimpin negara di dunia untuk turut terlibat aktif dalam membuka tuas impor gandum global.

Meskipun sinyal perdamaian belum juga terlihat sampai detik ini, strategi Jokowi dalam menjaga rantai pasokan gandum dalam negeri, tentunya patut diapresiasi. Siapa tahu, dari terbukanya keran impor gandum akan menjadi awal diadakannya gencatan senjata antara Ukraina-Rusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun