Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Insting Pembunuh di Otak Sambo

15 Agustus 2022   12:37 Diperbarui: 15 Agustus 2022   12:42 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kadiv Propam Polri (non-aktif) Irjen Pol Ferdy Sambo menjadi tersangka pembunuhan Brigadir Yosua. | Humas.Polri.go.id

Setiap orang berpotensi menjadi pembunuh. — Agatha Christie

Plot skenario pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) mendadak berubah 180 derajat usai Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) melakukan doa bersama dengan kuasa hukumnya, pada Sabtu, 6 Agustus 2022.

Dalam kegelisahan yang telah mencapai puncaknya, Bharada E akhirnya bersedia untuk mengungkapkan segala hal yang membebani benaknya selama ini. Dia tak sanggup lagi memendam informasi soal tragedi yang merenggut nyawa rekannya, Yosua, di rumah dinas atasannya sendiri, Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo, pada Jumat, 8 Juli 2022.

Dengan iringan lagu rohani, Bharada E tinggal seorang diri di sebuah ruangan. Bersama empat carik kertas dan sebuah pena, ia menuliskan sekuens peristiwa sebelum hari kematian Yosua, dimulai dari tanggal 2 Juli hingga 8 Juli 2022.

Eliezer menulis bahwa dirinya turun dari lantai dua lantaran ia mendengar adanya kegaduhan di lantai satu. Sesampainya di lantai satu, ia melihat atasannya sedang memegang sebuah pistol di dekat Yosua. Anggota Brimob berusia 24 tahun itu pun mengaku bahwa dirinya turut menembak Yosua atas perintah sang Jenderal.

Keterangan dalam empat carik surat itu berbanding terbalik dengan pengakuan Eliezer sebelumnya yang menyebutkan, bahwa ia menembak lantaran membalas tembakan dari Yosua. Dengan demikian, skenario tembak menambak (bela diri) yang pernah bergulir sebelumnya telah terbantahkan dengan sendirinya.

Eliezer mengaku ditekan sang Jenderal untuk menembak seniornya itu. Apabila perintah itu tak dijalankan, ia khawatir dirinya juga bakal turut ditembak oleh Sambo. Lalu, apa yang membuat orang-orang seperti Ferdy Sambo mempunyai kehendak melakukan pembunuhan?

Insting Pembunuh

Mengikuti drama penembakan Brigadir Yosua, layaknya tengah membaca novel detektif karya penulis legendaris Inggris, Agatha Christie, dengan plot-plot yang sangat rumit dan sulit ditebak.

Dalam novelnya yang bertajuk Tirai atau Curtain-Poirot's Last Case, Hercule Poirot harus dihadapkan pada sosok pembunuh yang membunuh tanpa motif—seorang psikopat yang memiliki keahlian dalam menyembunyikan setiap kekejamannya.

Sang psikopat dapat berperan layaknya teman yang menyenangkan. Di sisi lain, berkat kemampuan manipulasinya yang luar biasa, ia bisa menggerakkan orang lain untuk membunuh siapa saja, tanpa harus mendapatkan hukuman.

Ia tidak pernah dapat dihukum karena kekejamannya itu. Guna mengungkap kejahatannya, Poirot harus bertarung melawan kemampuan manipulasi sang musuh, kendati mobilitasnya terbatas akibat arthritis yang dideritanya.

Jika ditelisik secara mendalam, ada pola yang amat identik dari kemampuan sang psikopat dengan tersangka pembunuhan Yosua. Menurut pengakuan dari keluarga Yosua, hubungan Yosua dan Sambo tidak sekadar bawahan dan atasan atau senior dan junior. Mereka selayaknya keluarga. Sambo bahkan sudah menganggap Yosua sebagai anak. Begitu juga sebaliknya.

Meski demikian, fakta itu tak semerta-merta memupuskan niat Sambo untuk mengakhiri hidup Yosua, dengan motif yang sampai sekarang masih menjadi bahan pergunjingan publik Nusantara.

Lewat tangan Eliezer, Sambo membunuh Yosua. Guna menutupi aksi kejahatannya, motif membela diri (noodweer) dirancang sedemikian rupa. Harapannya, kronologi tembak-menembak dengan motif utama membela diri yang didukung kode senyap (code of silence), bisa meloloskan Eliezer dari jerat hukum pidana.

Dengan demikian, status Sambo sebagai pelaku utama pun bisa dinetralkan sejak dalam fase penyidikan. Tentunya dengan bantuan dan dukungan anggota Polri lain yang berada dalam genggamannya.

Mantan Kadiv Propam Polri itu sengaja mengorbankan Eliezer untuk menutupi kejahatan yang ia perbuat. Plotnya amat identik dengan apa yang dilakukan oleh sosok pembunuh dalam novel "Tirai", untuk meloloskan diri dari hukuman.

Dalam novel yang diterbitkan pada 1975 ini, Agatha juga menulis, "Setiap orang berpotensi menjadi pembunuh. Dalam diri setiap orang, dari waktu ke waktu, muncul keinginan membunuh kendati bukan kehendak untuk membunuh."

Tindak kriminal pembunuhan bukanlah wujud penyakit mematikan yang dibawa oleh individu sejak lahir. Pembunuhan dapat dilakukan oleh semua orang, baik oleh individu normal ataupun individu pengidap gangguan kejiwaan.

Hal itu selaras dengan pendapat yang ditulis Dave Grossman dalam bukunya berjudul "On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and Society". Dave menganalogikan manusia seperti kera dalam kerajaan primatanya. Ia juga menyatakan, manusia memiliki sifat dasar seperti spesies primata lain. 

"Mayoritas kera tidak ingin membunuh spesiesnya sendiri kecuali muncul suatu hal yang mengganggu," tulisnya.

Jika timbul konfrontasi antar-kelompok yang sangat mengganggu, maka pihak musuh yang dianggap inferior lah yang harus dilenyapkan. Jadi, untuk merebut posisi sebagai superior, para kera akan bertarung hingga salah satunya tewas. Fenomena serupa juga dapat dijumpai pada spesies Homo sapiens.

Kendati tidak semua manusia memiliki keinginan untuk membunuh, neurolog Jonathan Pincus dalam karyanya "Base Instincts: What Makes Killers Kill?" juga turut memaparkan hal senada. Manusia akan cenderung membunuh sesamanya sebagai mekanisme pertahanan diri atau menyelamatkan nyawanya sendiri.

Selain dipengaruhi oleh sisi psikologis, insting pembunuh dalam diri manusia juga dipengaruhi faktor genetika. Gen Pejuang (Warrior Gene) adalah gen yang ditengarai bisa menjadikan sifat dasar pemiliknya menjadi agresif dan kasar.

Jika berkaca pada realitas itu, apa yang dilakukan Sambo tidaklah mengejutkan, karena manusia pada dasarnya memiliki keinginan untuk membunuh sesamanya. Namun, hanya sebagian kecil orang saja yang mempunyai kehendak membunuh dan melakukan pembunuhan.

Sebagai Kadiv Propam, polisinya polisi, dengan akses senjata dan pengaruh kuat yang dimiliki, Sambo tampak jauh lebih superior dibandingkan Yosua. Segala hal yang diketahui dan dilakukan oleh Yosua akan menjadi ancaman bagi Sambo jika tidak sesuai dengan keinginannya. 

Sehingga, agar tidak mengancam posisi Sambo yang lebih superior, Yosua lantas 'dihabisi' melalui kronologi yang punuh dengan rekayasa. Fakta itu menandakan bahwa sejumlah teori serta hasil studi di atas, telah terbukti kebenarannya.

Apabila ditilik dari segi motif, kepolisian mencatat, mayoritas kasus pembunuhan dilakukan akibat faktor sosio-emosional seperti sakit hati, masalah personal, rasa tersinggung, dan adanya dendam. Selain itu, mayoritas kasus pembunuhan terjadi antara korban dengan pelaku yang sudah saling mengenal, dengan prosentase 80 persen dari total kejadian. Pembunuhan terhadap Yosua termasuk di dalamnya.

Dalam kasus yang menyeret nama bekas Kadiv Propam Polri ini, selain merupakan insting dasar manusia, Sambo mengaku, dirinya marah karena Yosua dinilai telah melukai martabat keluarganya (istrinya). Terlepas klaim itu sesuai fakta atau tidak, ada pemicu faktor sosio-emosional yang teramat kuat yang membuat Sambo tega mengakhiri hidup Brigadir J.

Akibat ketidakstabilan emosi dan konflik psikologis yang dialaminya ketika itu, ia kehilangan kontrol atas dirinya sehingga melakukan tindak pembunuhan terhadap Yosua dengan merekayasa kronologi dan bukti, serta meminjam tangan ajudannya.

Sebagai anggota Polri, Sambo memang memiliki kewenangan tembak di tempat untuk menangkap pelaku kriminal yang melakukan perlawanan, melarikan diri, atau berisiko membahayakan orang lain. Sayangnya, Brigadir Yosua bukan pelaku tindak kriminal. Namun, dia diduga kuat mengetahui banyak informasi yang bisa membahayakan citra dan posisi Sambo.

Apa pun motifnya, Pembunuhan adalah tindakan kejam yang sangat berlawanan dengan kemanusiaan dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, serta tak bisa diterima dengan alasan apa pun.

Tidak Ada Kejahatan Sempurna

Pelaku kejahatan mempunyai dua misi. Pertama, bagaimana dia menyelesaikan perbuatannya. Kedua, bagaimana dia melarikan diri (lepas dari jerat hukum). Sambo berhasil melakukan misi yang pertama, tetapi gagal dalam misi kedua.

Meski telah dibantu oleh 31 anggota Polri lain yang diduga melakukan pelanggaran kode etik berat lantaran merusak barang bukti serta TKP alias osbtruction of justice, Sambo agaknya akan mustahil bisa lolos dari jerat hukum.

Bapak Ilmu Forensik Modern, Edmond Locard, mengatakan bahwa setiap orang yang bergerak pasti meninggalkan jejak. Bagaimanapun upaya seseorang untuk menutupi kejahatan serta kebohongan dalam suatu kasus kriminal, akan selalu meninggalkan petunjuk yang mengarah pada kebenaran. Sebab, sejatinya, tidak ada kejahatan yang sempurna!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun