Ia tidak pernah dapat dihukum karena kekejamannya itu. Guna mengungkap kejahatannya, Poirot harus bertarung melawan kemampuan manipulasi sang musuh, kendati mobilitasnya terbatas akibat arthritis yang dideritanya.
Jika ditelisik secara mendalam, ada pola yang amat identik dari kemampuan sang psikopat dengan tersangka pembunuhan Yosua. Menurut pengakuan dari keluarga Yosua, hubungan Yosua dan Sambo tidak sekadar bawahan dan atasan atau senior dan junior. Mereka selayaknya keluarga. Sambo bahkan sudah menganggap Yosua sebagai anak. Begitu juga sebaliknya.
Meski demikian, fakta itu tak semerta-merta memupuskan niat Sambo untuk mengakhiri hidup Yosua, dengan motif yang sampai sekarang masih menjadi bahan pergunjingan publik Nusantara.
Lewat tangan Eliezer, Sambo membunuh Yosua. Guna menutupi aksi kejahatannya, motif membela diri (noodweer) dirancang sedemikian rupa. Harapannya, kronologi tembak-menembak dengan motif utama membela diri yang didukung kode senyap (code of silence), bisa meloloskan Eliezer dari jerat hukum pidana.
Dengan demikian, status Sambo sebagai pelaku utama pun bisa dinetralkan sejak dalam fase penyidikan. Tentunya dengan bantuan dan dukungan anggota Polri lain yang berada dalam genggamannya.
Mantan Kadiv Propam Polri itu sengaja mengorbankan Eliezer untuk menutupi kejahatan yang ia perbuat. Plotnya amat identik dengan apa yang dilakukan oleh sosok pembunuh dalam novel "Tirai", untuk meloloskan diri dari hukuman.
Dalam novel yang diterbitkan pada 1975 ini, Agatha juga menulis, "Setiap orang berpotensi menjadi pembunuh. Dalam diri setiap orang, dari waktu ke waktu, muncul keinginan membunuh kendati bukan kehendak untuk membunuh."
Tindak kriminal pembunuhan bukanlah wujud penyakit mematikan yang dibawa oleh individu sejak lahir. Pembunuhan dapat dilakukan oleh semua orang, baik oleh individu normal ataupun individu pengidap gangguan kejiwaan.
Hal itu selaras dengan pendapat yang ditulis Dave Grossman dalam bukunya berjudul "On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and Society". Dave menganalogikan manusia seperti kera dalam kerajaan primatanya. Ia juga menyatakan, manusia memiliki sifat dasar seperti spesies primata lain.Â
"Mayoritas kera tidak ingin membunuh spesiesnya sendiri kecuali muncul suatu hal yang mengganggu," tulisnya.
Jika timbul konfrontasi antar-kelompok yang sangat mengganggu, maka pihak musuh yang dianggap inferior lah yang harus dilenyapkan. Jadi, untuk merebut posisi sebagai superior, para kera akan bertarung hingga salah satunya tewas. Fenomena serupa juga dapat dijumpai pada spesies Homo sapiens.