Tanpa adanya suporter, sepak bola bukan apa-apa. Mereka memberi ruh dan warna dalam setiap pertandingan yang dijalani sebuah tim. Kondisi finansial kesebelasan pun akan tumbang tanpa kehadiran serta dukungan mereka.
Suporter juga lah yang menjadi faktor penentu mengapa sepak mula (kick-off) laga sepak bola dilakukan paling awal pukul 3 sore. Aturan itu berawal dari Inggris yang menjadi tempat kelahiran sepak bola yang kita kenal saat ini.
Pada masa revolusi industri, kaum pekerja di Negeri Ratu Elizabeth akan terus bekerja hingga Sabtu sore. Durasi kerja itu dianggap terlalu lama sehingga akan mengurangi waktu beristirahat dan berkumpul pekerja bersama keluarga.
Akhirnya, pemerintah Inggris pun menerbitkan Undang-Undang Pabrik pada tahun 1850, yang melarang perusahaan menahan pekerjanya di tempat kerja lebih dari jam 2 siang setiap hari Sabtu. Hal itu tentu menjadi kabar baik bagi para pekerja yang ingin menghabiskan Sabtu sorenya untuk melepas penat.
Sejatinya undang-undang itu tak dibuat untuk mengakomodasi kepentingan pekerja dalam menikmati pertandingan olahraga, terutama sepakbola. Namun, aturan itu memiliki andil besar lantaran saat itu mayoritas penggemar sepak bola di Inggris adalah kelas pekerja.
Dari aturan itulah, FA (PSSI-nya Inggris) lantas menentukan kick-off pertandingan paling awal dilakukan pada pukul 3 sore. Satu jam setelah pekerja menuntaskan kewajibannya sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk berangkat ke stadion dengan berjalan kaki--lantaran kala itu belum banyak transportasi massal.
Dalam perkembangnnya, sepak mula pada jam 3 sore dianggap ideal untuk menggelar laga sepak bola. Apalagi pada saat itu pun belum ada lampu sorot di stadion yang membuat sepak bola tidak mungkin digelar pada malam hari.
Namun, tren itu berubah ketika banyak stadion mulai memasang lampu sorot. Swindon menjadi klub pertama yang memakai lampu sorot untuk menggelar laga di stadion pada malam hari, lantas disusul oleh Arsenal.
Hingga saat ini, sore dan malam hari pada akhir pekan menjadi waktu yang ideal guna memulai sepak mula. Aturan itu kemudian diadopsi oleh berbagai negara di dunia dengan mengadakan pertandingan paling awal jam 15.00 dan paling lambat jam 20.00.
Akan tetapi, seiring dengan kehadiran televisi, pertandingan dapat digelar lebih larut malam melebihi tradisi kick-off sebelumnya. Dengan akses modal yang melimpah, pihak penyiaran punya kuasa sangat besar untuk menentukan waktu kick-off setiap laga dalam sebuah liga.
Lazimnya, mereka akan menampilkan siaran laga sepak bola pada waktu prime time keluarga atau sesuai permintaan sponsor atau iklan. Tak harus pada jam 15.00 atau paling lambat jam 20.00.
Kuasa berlebih yang dikantongi pihak penyiaran (broadcaster) seperti itu juga apat ditemui di Indonesia, yang sering menyiarkan pertandingan mulai pukul 21.00 (WIB) atau pukul 22.00 (WITA).
Sikap semena-mena pihak penyiaran itu yang lantas mendapatkan protes keras di media sosial akhir-akhir ini. Penggemar sepak bola Tanah Air menganggap jadwal kick-off Piala Presiden 2022, yang digelar pada jam 20.30 WIB, terlalu malam.
Pemilik hak siar bahkan dituding telah menggadaikan keselamatan publik demi mengejar rating dan faktor komersial lain. Seruan memboikot pihak broadcaster pun menggema di Twitter.
Setidaknya ada tiga hal mengapa pihak penyiaran sebaiknya tidak menyiarkan pertandingan terlalu larut malam atau melibihi tradisi kick-off normal.
1. Faktor Keamanan
Faktor keamanan menjadi hal yang paling krusial yang harus didahulukan dalam menggelar setiap laga sepak bola. Alasannya sederhana, karena hal itu menyangkut nyawa banyak orang.
Jika faktor tersebut diprioritaskan oleh pihak penyiaran, mungkin insiden yang dialami dua suporter Persib Bandung, dapat terhindarkan. Mereka dikabarkan meregang nyawa dalam pertandingan antara Persebaya Surabaya vs Persib Bandung, Kamis (18/6/22).
Tragedi itu terjadi akibat adanya desak-desakan di pintu masuk stadion GBLA. Tentu insiden tersebut tak disebabkan oleh faktor tunggal. Hanya saja, laga yang digelar pada 20.30 WIB, dan berakhir pada pukul 22.00 WIB, akan menyulitkan pengawasan petugas (aparat dan panpel) terhadap para suporter.
Kondisi lingkungan yang sudah gelap dapat mengurangi jarak pandang dan kewaspadaan suporter terhadap adanya bahaya di sekitar mereka. Selain itu, apabila terjadi kerusuhan, massa akan lebih sulit dikendalikan.
Belum lagi jika menghitung nasib para suporter ketika mereka dalam perjalanan berangkat dan pulang yang juga berisiko menjadi target tindak kejahatan jalanan.
2. Buruk bagi Kesehatan Pemain
Belum lama ini, pelatih Persib Bandung, Robert Rene Alberts, mengeluhkan soal jadwal pertandingan. Pasalnya, skuat asuhannya kerap menjalani laga malam pukul 21.30 WITA dan 21.45 WITA.
Dia menilai, jadwal pertandingan yang terlalu larut malam bisa memengaruhi waktu recovery para pemainnya. Imbas selanjutnya, jadwal latihan pemain jadi tidak ideal karena waktu istirahatnya juga harus mundur.Â
Selama tidur, tubuh pesepak bola akan menjalani masa pemulihan sebagai persiapan untuk menjalani latihan dan pertandingan berikutnya. Dalam kondisi tidur pula, tubuh akan memperbaiki kerusakan otot yang terjadi dalam latihan atau pertandingan (recovery).
Bagi pemain sepak bola yang baru saja bertanding, diperlukan waktu berkisar antara 48-72 jam agar bisa 100% pulih secara total. Dengan catatan pemain itu tidak mengalami cedera.
Proses recovery sangat krusial untuk membuat pemain tetap berada dalam performa puncaknya. Dengan begitu, penampilannya di lapangan akan tetap berada pada level elite.
Rata-rata para atlet akan memerlukan tidur setidaknya dengan durasi 10 jam untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Kalau pertandingan baru berakhir pada jam 23.00 WITA, maka pemain baru akan istirahat jam 24.00 WITA atau lebih.
Adapun paginya, mereka harus menjalani latihan. Akibatnya, durasi pemulihan tubuh mereka bakal berkurang. Dalam jangka pamjang, kesehatan para pemain akan menjadi taruhannya.
3. Menurunkan Produktivitas
Selain merusak siklus sirkadian pemain, menurut hasil penelitian, menggelar laga pada pukul 20.30 WIB atau lebih, terbukti tidak efektif bagi kinerja pesepak bola di lapangan.
Menurut Michael Smolensky, asisten profesor teknik biomedis di University of Texas, AS, para atlet akan mencapai performa fisik terbaik dan tidak mudah cedera pada pukul 3 sore hingga 6 sore. Kekuatan otot cenderung mencapai puncaknya antara pukul 14:00 dan 18:00.
Selaras dengan hasil studi Smolensky, sebuah analisis data yang dilakukan oleh The Analyst juga menunjukkan tren yang sama. Memakai data yang diambil dari Premier League musim 2016-2017, kick-off yang dimulai pada hari Minggu pukul 16.30 menghasilkan rata-rata gol lebih tinggi.
Data pada gambar juga menunjukkan bahwa laga yang dimulai pada pukul 19.45 dan 20.00 terbukti mencatatkan rata-rata gol paling rendah. Artinya, kick-off yang terlalu larut malam bisa berdampak pada produktivitas gol.
Padahal, produktivitas gol acap menjadi penentu kemenangan sebuah tim. Para suporter pun akan senang jika tim yang mereka dukung bisa menceploskan gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan. Makin banyak gol, makin menghibur pula jalannya sebuah pertandingan.
Dari keluhan yang disampaikan oleh Alberts dan data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa laga yang dimulai larut malam bisa berakibat buruk bagi kesehatan pemain dan mendegradasi performa pemain di lapangan.
Kembalikan Kick-Off Normal
Dalam riset yang digagas Nielsen Sport, 77 persen populasi Indonesia memiliki ketertarikan pada olahraga si kulit bulat, yang berasal dari berbagai kalangan dan level usia.
Penayangan sepak bola pada jam tayang terlalu malam, selain tidak ramah untuk anak-anak, juga tidak adil bagi saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah Timur. Mereka harus rela terjaga hingga larut malam dan mengorbankan waktu istirahat mereka untuk menonton tim kesayangannya.
Menimbang semua poin itu, hendaknya pihak broadcaster dan penyelenggara bersedia mengembalikan jam tayang siaran sepak bola menjadi pukul 15:30 dan 18:30.
Kick-off pukul 15.00 adalah simbol sepak bola sebagai permainan rakyat. Jangan sampai hak tersebut dirampas oleh pihak yang mengabaikan keselamatan hanya demi rating dan iklan.
Pihak penyelenggara, pemilik hak siar, serta PSSI harus mau mendengarkan kritik dan keluhan para suporter. Mereka harus sadar, bahwa sepak bola bukanlah apa-apa tanpa kehadiran suporter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H