Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hinalah Pemerintah Kau Dipenjara

18 Juni 2022   10:15 Diperbarui: 18 Juni 2022   10:19 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena pasal tersebut dapat menjelma jadi bom waktu untuk masyarakat luas, terutama warga sipil, pihak oposisi, dan aktivis, hendaknya pemerintah perlu mempertimbangkan poin-poin berikut sebelum menentukan sikap.

1. Multitafsir
Konteks penghinaan dalam draf RKUHP akan memberikan ruang yang luas untuk penafsiran, tergantung pada subjek dan objek hinaan, serta orientasi politiknya. Pasal itu dapat dikatakan sebagai pasal karet–layaknya UU ITE–lantaran dapat dimanipulasi sesuai dengan interpretasi entitas penguasa.

Misalnya, kalimat "Presiden X adalah presiden terburuk dalam sejarah NKRI", tentunya dapat dengan mudah didakwa sebagai penghinaan. Apalagi jika narasi itu dilontarkan oleh lawan politik sang presiden. Hampir dapat dipastikan esok mereka akan dijemput oleh aparat.

Hal itu menandakan betapa banyak tafsir yang terkandung di dalam sebuah kata dan kalimat, tergantung pada siapa yang memaknainya.

Logikanya, jika pasal pencemaran nama baik yang skalanya lebih privat saja bisa "diolah" sedemikian rupa, bagaimana dengan pasal penghinaan pemerintah yang penafsirannya bisa jauh lebih luas?

Secara filosofis, ada pergeseran norma. Yang awalnya bertujuan guna mengatur penghinaan terhadap penguasa, tetapi pada akhirnya juga mengatur mengenai kritik yang bersinggungan dengan aspek politik.

Walaupun termasuk delik hukum, pasal penghinaan pemerintah tetap saja rawan disalahtafsirkan. Apalagi, saat kasusnya sudah ditangani aparat penegak hukum.

Contoh, jika Presiden X merasa terhina, lalu melaporkannya ke pihak kepolisian. Sementara dalam perkembangannya tak ditemukan adanya tindak pidana, sebagai intitusi bawahan presiden, apakah polisi berani menolak laporan beliau?

Skenario itu tentu dapat menimbulkan bias. Selanjutnya akan membuat aparat mengkriminalisasi suatu kasus dengan mencari-cari kesalahan terduga pelaku lewat penafsiran yang terlalu fleksibel.

2. Berkaca pada UU ITE
Sebelum mengesahkan pasal tersebut, seyogyanya pemerintah berkaca pada kasus yang melibatkan UU ITE. Menurut laporan yang disusun oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pasal-pasal karet UU ITE menunjukkan angka pemenjaraan yang begitu tinggi.

Sejak 2016 hingga Februari 2020, untuk kasus dengan Pasal 27, 28, serta 29 (UU ITE), tingkat penghukuman (conviction rate) ada di angka 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang telah mencapai 88% (676 perkara). Artinya, jika seseorang telah dilaporkan terkait UU ITE, dapat dipastikan 88 persen ia akan berakhir di balik jeruji pesakitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun